..............................58 3.5.2. Agustinus..................................59 3.6. Determinisme Ketidaksadaran....................60 3.6.1. Sigmund Freud..............................60 3.7. Kesimpulan.....................................63 BAB IV.........SOLUSI LOUIS LEAHY ATAS PAHAM DETERMINISME ....................................................64 Pengantar...........................................64 4.1. Louis Leahy Dan Determinisme Universal.........64 4.1.1. Kebebasan Terjadi Pada Tingkat Alasan-alasan Dan Bukan Pada Tingkat Sebab Akibat............66 4.1.2. Manusia Mempunyai Kemampuan Mengorganisir Hukum Sebab Akibat.............................66 4.2. Louis Leahy Dan Determinisme Biologis.........67 4.2.1. Determinisme Biologis Hanya Merupakan Hipotesa Yang Tidak Diverifikasikan Kebenarannya ...............................................67 4.2.2. Evolusi Mengandaikan Kesadaran.............68 4.3. Louis Leahy Dan Determinisme Sosiologis.......70 4.3.1. Determinisme Sosiologis Tidak Absolut......70 4.3.2. Tidak Ada Pertentangan Antara Manusia Sebagai Pribadi Dan Masyarakat.........................72 4.4. Louis Leahy Dan Determinisme Teologis.........73 iii 4.4.1. Determinisme Teologis Meletakkan Masalah Secara Salah...................................73 4.4.2. Kebebasan Manusia Tidak Berarti Ketidaktergantungan Pada Tuhan.................74 4.4.3. Manusia Adalah Makhluk Yang Berdialog Dengan Allah..........................................75 4.5. Louis Leahy Dan Determinisme Ketidaksadaran...76 4.5.1. Pribadi Manusia Mengandung Unsur Yang Kompleks.......................................77 4.5.2. Psikoanalisa Mengandaikan Kebebasan manusia ...............................................78 4.5.3. Unsur Ketidak-sadaran Sulit Dijadikan Dasar Pendorong Tindakan Manusia.....................79 4.6. Kesimpulan Louis Leahy Atas Paham Determinisme 79 4.6.1. Determinisme Dan Ketidak-koherenannya......79 4.6.2. Manusia Adalah Makhluk Yang Bebas..........81 BAB V PENUTUP..........................................84 Pengantar...........................................84 5.1. Kesimpulan.....................................84 5.1.1. Letak Persoalan Determinisme Dan Kebebasan. 84 5.1.1.1. Kebebasan Sebagai Unsur Esensial Pribadi Manusia........................84 5.1.1.2. Absurditas Kebebasan.......................................................................86 5.1.2. Sikap Louis Leahy..........................88 5.1.2.1. Komplementaritas Determinisme Dan Kebebasan..........................88 5.1.2.2. Ketidakmutlakan Determinisme Dan Kebebasan.............................89 5.2. Tinjauan Kritis................................89 5.2.1. Louis Leahy Dan Para Pemikir Pendahulu.....89 5.2.2. Louis Leahy Sebagai pemikir Yang ..........90 5.2.3. Louis Leahy Dan Pengalaman Sehari-hari.....91 5.3. Relevansi: Pemikiran Louis Leahy Dan Karya Pastoral Gereja Indonesia.........................91 5.3.1. Kebebasan Dan Tanggung Jawab Moral .......92 5.3.2. Makna Kebebasan Di Tengah Situasi Yang Tidak Membebaskan....................................93 DAFTAR PUSTAKA.........................................95 iv v vi vii BAB I PENDAHULUAN 1.1. Aktualitas Ide Kebebasan Kebebasan merupakan problem yang terus-menerus digeluti dan diperjuangkan oleh manusia. Keinginan manusia untuk bebas merupakan keinginan yang sangat mendasar.1 Oleh karena itu tidak mengherankan kalau dalam sejarah perkembangan pemikiran muncul berbagai pendapat yang berusaha menjawab problem tersebut. Meskipun demikian tetap harus diakui bahwa persoalan kebebasan manusia merupakan suatu persoalan yang masih tetap terbuka sampai dewasa ini. Mengapa? Karena titik tolak yang digunakan untuk menjawab persoalan itu bukan hanya sering kali berbeda, namun juga sering kali bertentangan.2 Salah satu sebab munculnya kontroversial dalam hal penjelasan dan pemberian jawaban itu adalah perbedaan latar belakang dan pengalaman hidup para pemikir. J.P Sartre yang lahir dan dibesarkan serta bergumul dalam lingkungan industri jelas memiliki pola pemikiran yang berbeda dengan Albert Camus yang hidup dalam masa revolusi Aljazair yang berusaha menuntut kebebasan dari Perancis. Pengalaman Camus berhadapan langsung dengan teror-teror dan kemiskinan membuahkan pola pemecahan yang berbeda dengan pemikiran Sartre yang lebih bersifat teoretis dan abstrak. Dalam konteks ini kita juga dapat mengambil contoh pemikiran Louis Leahy tentang kebebasan manusia. Louis Leahy berpendapat bahwa kebebasan merupakan salah satu karakter dasar manusia. Manusia adalah makhluk yang secara esensial berkehendak. Dalam perbuatan berkehendaknya keakuan manusia hadir dalam dirinya dan menguasainya. Karena itu pada dasarnya manusia tidak dapat tidak berkehendak.3 1 Bdk. DR. Nico Syukur Dister OFM, Filsafat Kebebasan, Kanisius, Yogyakarta, 1993, hal:5 2 Bdk. Nusa Putra, Pemikiran Soedjatmoko Tentang Kebebasan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994, hal:xviii 3 Bdk. Louis Leahy, Manusia Sebuah Misteri: Sintesa Filosofis Tentang Makhluk Paradoksal, 1 Begitu esensial dan konkrit unsur kebebasan bagi eksistensi atau adanya manusia di dunia, sehingga kebebasan dalam peziarahan hidup manusia menjadi suatu yang secara terus-menerus diperjuangkan. Kebebasan merupakan suatu nilai yang dijunjung tinggi oleh manusia. Manusia akan mungkin merealisasikan dirinya secara penuh jika ia bebas.4 Gagasan kebebasan semacam ini selalu aktual dalam hidup manusia selain karena kebebasan merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan dari diri manusia, juga karena kebebasan itu dalam kenyataannya merupakan suatu yang bersifat "fragile"; kebebasan bersifat sensitif dan rapuh. Manusia adalah makhluk yang bebas, namun sekaligus manusia adalah makhluk yang harus senantiasa memperjuangkan kebebasannya. Aktualitas ide kebebasan manusia juga didasarkan pada kenyataan adanya perkembangan arti kebebasan sesuai dengan situasi dan kondisi manusia. Arti dan makna kebebasan pada jaman sekarang tidak bisa disempitkan hanya pada pengertian kebebasan dalam masyarakat kuno atau masyarakat pra-modern. Pada jaman penjajahan kebebasan mungkin lebih diartikan sebagai keadaan terlepas dari penindasan oleh penjajah. Namun pada masyarakat modern, di mana bentuk penjajahan terhadap kebebasan juga semakin berkembang, misalnya dengan adanya gerakan modernisasi dan industrialisasi yang membawa perubahan yang radikal pada cara berpikir manusia, arti kebebasan juga mempunyai makna yang lebih luas. Kebebasan pada jaman sekarang bukan hanya berarti sekedar terbebas dari keadaan terjajah, namun mungkin lebih berarti bebas untuk mengangtualkan diri di tengah-tengah perkembangan jaman ini. 1.2. Antara Pendewaan Kebebasan dan Situasi Teralienasi Dunia modern diwarnai oleh perkembangan pelbagai sektor kehidupan Gramedia, Jakarta, 1984, hal: 111 4 Bdk. Laurentius Heru Susanto, Filsafat Kebebasan Albert Camus, STFT Widya Sasana, Malang, 1991, hal: 02 2 manusia. Pola pikir manusia semakin mengarah pada antroposentrisme. Sebelum jaman modern manusia percaya pada campur tangan Tuhan atau ?dunia supra natural? dalam setiap peristiwa hidupnya, namun di jaman modern manusia lebih percaya pada kemampuan intelektualnya sendiri dalam menafsirkan kehidupan. Dalam jaman modern segala tesis yang tidak dapat diterima secara logis akan ditolak. Manusia modern semakin tenggelam dalam pendewaan otonomi rasio. Konsekuensianya adalah kehidupan spiritul akan tidak lebih hanya sebagai pengakuan formal yang dangkal. Kesediaan manusia untuk menyerahkan diri pada kekuatan Ilahi hanya menjadi sekedar romantisme spiritual yang tidak mempunyai relevansi konkrit dengan kehidupan manusia.5 Sebaliknya pengakuan manusia akan kebebasan dirinya menjadi segalagalanya dalam hidupnya. Dari sisi lain kita juga bisa melihat bahwa perkembangan pemikiran manusia di jaman modern telah membuahkan kemajuan dalam pelbagai bidang kehidupan manusia, seperti di bidang ekonomi, komunikasi, teknologi, dan sebagainya. Cara-cara memproduksi barang dan jasa dalam dunia modern tidak lagi dilakukan secara manual atau tradisional, tetapi secara mekanis. Tidak dapat disangkal bahwa arus modernisasi membawa akibat yang sangat positif bagi kehidupan manusia, namun kita juga tidak bisa menutup mata pada akibat-akibat yang negatif.6 Di tengah-tengah arus modernisasi dan industrialisasi, semakin melebar juga jurang pemisah antara golongan kaya dan golongan miskin. Lebih parah lagi, dalam situasi seperti itu manusia lemah semakin teralienasi dari lingkungan sosialnya. Dalam situasi seperti inilah sering kali muncul pertanyaan tentang kebebasan manusia. Dalam situasi teralienasi seperti itu sangat mungkin kebebasan menjadi suatu yang absurd. Ide dan makna kebebasan manusia dipertanyakan kembali: Apa artinya bebas? Sejauh mana seseorang dapat dikatakan bebas? Kebebasan itu pada akhirnya ada atau tidak? 5 Bdk. Drs. Musa Asy?arie (ed), Islam, Kebebasan Dan Perubahan Sosial: Sebuah Bunga Rampai Filsafat, Sinar Harapan, Jakarta, 1986, hal 14 6 Bdk. Laurentius Heru Susanto, Op.Cit., hal: 03 3 1.3. Permasalahan Persoalan utama yang muncul berkaitan dengan kebebasan manusia adalah: Apa itu kebebasan? Benarkah manusia itu bebas? Benarkah tindakan-tindakan yang kita lakukan itu sungguh-sungguh keluar dari kebebasan kita? Atau justru sebaliknya: Apakah semua yang terjadi dan yang akan terjadi dalam hidup kita ini sudah dideterminasi oleh determinan-determinan yang melingkupi hidup kita? Seandainya hidup dan tindakan kita ini sebenarnya merupakan produk dari determinasideterminasi, di mana letak kebebasan manusia? Apakah dalam situasi demikian itu manusia masih bisa dikatakan sebagai makhluk yang bebas? Persoalan-persoalan di atas akan menjadi pusat perhatian penulis dalam karya ilmiah ini, karena penulis melihat bahwa secara hakiki manusia menginginkan kebebasan secara penuh. Namun apa yang ditemui dalam realitas kehidupan? Perang, kelaparan, kemiskinan, perampokan, penindasan hak-hak asasi manusia, ketidakadilan, dan lain sebagainya. Kenyataan itu menunjukkan bahwa sebenarnya harapan dan dambaan manusia akan kebebasan belum teraktualisasikan secara penuh. Kebebasan manusia dan segala macam persoalannya itu akan menjadi semakin rumit kalau kita kaitkan dengan pandangan dari aliran determinisme. Determinisme menyangkal adanya kebebasan manusia. Determinisme kalau ditinjau dari aspek etimologinya, yaitu "determinare" (menentukan batas, membatasi), berarti bahwa setiap peristiwa atau kejadian "ditentukan". Artinya, suatu peristiwa tidak bisa terjadi kalau tidak ditentukan.7 Menurut teori ini setiap peristiwa di alam semesta ini merupakan konsekuensi yang tak dapat dihindarkan dari sebab-sebab yang mendahuluinya. Mereka juga mengatakan bahwa bentuk jagat raya ini diberikan saat determinisme dan setiap detail dalam alam semesta ini mempunyai hubungan dengan yang akan datang.8 Determinisme menggarisbawahi bahwa kesadaran manusia akan 7 Bdk. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996, hal:159 8 Bdk. William H. Halverson, A Concise Introduction To Philosophy, (third 4 kebebasan pribadi merupakan putusan yang salah, yang muncul dari ketidaktahuan akan dorongan-dorongan yang tidak sadar. Kalau pandangan tentang kebebasan dari determinisme ini kita cermati kita bisa menyimpulkan bahwa sebenarnya tidak ada kebebasan di dunia manusia ini. Persoalannya adalah benarkah bahwa manusia itu sungguh-sungguh tidak mempunyai kebebasan? Apakah kalau dalam kehidupan, kita mempunyai kebebasan untuk memilih atau bertindak atau tidak bertindak, itu juga harus ditafsirkan sebagai sudah ditentukan demikian? Siapa sebenarnya yang berkompeten menilai bahwa manusia itu bebas atau tidak? Para filsof, teolog, sosiolog, atau manusia secara pribadi? 1.4. Pembatasan Masalah Persoalan-persoalan tentang kebebasan dan determinisme akan menjadi pusat perhatian karya ilmiah ini. Supaya pembahasan ini tidak terlalu luas, maka penulis hanya akan membatasi masalah kebebasan dan determinisme dalam perspektif filsafat manusia Louis Leahy. Pertanyaan utama yang akan digali secara mendalam dalam karya ilmiah ini adalah: Sejauh mana kata kebebasan itu ditafsirkan oleh Louis Leahy? Bagaimana Louis Leahy menjelaskan dan memberi isi pada kata kebebasan? Bagaimana sikap Louis Leahy berhadapan dengan determinisme-determinisme? Apa solusi Leahy atas kebebasan manusia di hadapan pandangan determinisme?Apa dan bagaimana konsekuensi solusi tersebut? Dalam pemikiran Louis Leahy, masalah manusia, khususnya masalah kebebasan dan determinisme, rupanya mendapat porsi perhatian yang cukup. Pandangan Louis Leahy tentang manusia secara lengkap terdapat dalam karyanya yang berjudul ? Manusia sebuah Misteri?. Dengan judul itu secara sekilas barangkali para pembaca sudah dapat mengira apa dan bagaimana pandangan Louis Leahy tentang manusia. Pada akhir pembahasan Louis Leahy mengambil kesimpulan bahwa manusia itu adalah seorang pribadi yang penuh dengan paradoks-paradoks, manusia itu makhluk yang edition), New York, 1976, hal:247 5 unik. Ada begitu banyak pokok bahasan yang dikerjakan Louis Leahy dalam karyanya tentang manusia itu. Salah satu bagian yang menarik perhatian penulis adalah pembahasan Louis Leahy tentang manusia sebagai makhluk yang berkehendak bebas. Penulis tertarik untuk membatasi pembahasan ini pada pemikiran Louis Leahy tentang kebebasan dan determinisme, di samping supaya pembahasan tidak terlalu luas, juga karena penulis melihat pola logika yang sederhana dari Louis Leahy dalam memecahkan persoalan kebebasan dan determinisme. Artinya bahwa kami melihat sikap atau solusi Louis Leahy terhadap paham determinisme itu begitu mudah ditangkap oleh akal sehat manusia. Dengan demikian pemecahan itu akan lebih bisa dipahami dan diterima sebagai pedoman dalam hidup manusia. Selain itu, seperti sudah kami katakan di atas, bahwa ide kebebasan manusia itu sampai dewasa ini masih tetap aktual untuk dibicarakan. 1.5. Tujuan Pembahasan Tujuan utama pembahasan karya ilmiah ini ialah menelaah pemikiran Louis Leahy tentang manusia, khususnya tentang kebebasan manusia dan determinismedeterminisme. Dari penelaahan ini penulis berharap dapat menemukan pemikiranpemikiran yang berharga yang dapat disumbangkan demi kepentingan ilmiah dan kepentingan pastoral gereja. Di samping itu penulis juga ingin memperkenalkan pemikiran-pemikiran Louis Leahy , khususnya tentang manusia dan kebebasannya, kepada siapa saja, terutama kepada para akademisi, mengingat masih sangat kurang karya tulis yang berusaha menggali pemikiran Louis Leahy. Selain itu kami juga bertujuan agar tulisan ini dapat memberi cakrawala pandang baru pada semua orang berkaitan dengan pandangannnya tentang kebebasan dan determinisme-determinisme. Artinya bahwa supaya semua orang, khusunya yang membaca tulisan ini, semakin menyadari: Apa arti kebebasan manusia itu? Apa dasar pendapat yang mengatakan bahwa manusia itu bebas? Sebaliknya juga apa dasar pendapat yang mengatakan bahwa manusia itu tidak bebas? Bagaimana manusia harus 6 melihat dirinya sebagai makhluk yang bebas? dan lain sebagainya. 1.6. Metode Pembahasan Metode yang kami pakai dalam membahas pemikiran Louis Leahy ini adalah metode deskriptif-analitis. Sumber-sumber pokok yang kami pakai terutama adalah karya-karya asli Louis Leahy dan buku-buku lain yang langsung membahas tema kebebasan dan determinisme. Sedangkan tulisan-tulisan lain tentang Louis Leahy dan buku-buku lain kami gunakan dalam penulisan karya ilmiah ini sajauh membantu proses penulisan. Karena faktor keterbatasan pengetahuan bahasa penulis, maka dalam penulisan karya ilmiah ini kami hanya menggunakan sumber dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Karya-karya utama yang kami gunakan berkaitan dengan penelaahan tema kebebasan dan determinisme dalam pemikiran Louis Leahy, yaitu: Manusia Sebuah Misteri: Sintesa Filosofis Tentang Makhluk Paradoksal; Esai Filsafat Untuk Masa Kini: Telaah Masalah Roh-Materi Berdasarkan Data Empiris Baru; Filsafat Ketuhanan Kontemporer; Manusia Di Hadapan Allah 1: Masalah Ketuhanan Dewasa Ini; Manusia Di Hadapan Allah 3: Kosmos Manusia Dan Allah; Sains Dan Agama Dalam Konteks Zaman Ini; Aliran-aliran Besar Ateisme; A Concise Introduction to Philosophy (William Halverson); Philosophy: The Basic Issues (E.D. Klenke). Buku-buku ini kami gunakan sebagai sumber utama karena ada bagian pembahasan yang langsung membicarakan tema kebebasan dan determinisme. Berdasarkan buku-buku itulah, dan tentu saja juga dengan bantuan buku-buku atau artikel-artikel lain, kami menarik garis-garis pemikiran dan solusi Louis Leahy tentang kebebasan dan determinisme. 1.7. Sistematika Pembahasan Karya ilmiah ini terbagi dalam lima bab. Bab pertama adalah pendahuluan. Bagian pendahuluan ini berisi latar belakang pemilihan tema, permasalahan dan 7 pembatasannya, tujuan dan metode serta sistematika pembahasan, latar belakang hidup Louis Leahy, karya-karyanya dan antropologi filosofis Louis Leahy. Pembahasan bagian Louis Leahy dan karya-karyanya serta anstropologinya cukup singkat karena dalam bagian ini penulis terutama hanya ingin menggali pokok-pokok antropologi filosofis Louis Leahy sebagai dasar pembahasan bab-bab selanjutnya. Dalam hal ini pembahasan latar belakang hidupnya tidak bisa ditinggalkan, karena bagaimanapun juga pemikiran-pemikirannya banyak dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan itu. Kemudian pada bagian kedua penulis akan menguraikan secara panjang lebar pemikiran Louis Leahy tentang kebebasan manusia. Supaya penjelasan tentang kebebasan itu mempunyai dasar yang akurat, pertama-tama penulis mengawali pembahasan yang paling umum, yaitu pandangan Louis Leahy tentang manusia, dan sebagai intinya kami menguraikan secara mendalam pandangan Louis Leahy tentang kebebasan manusia. Pada bab ketiga kami akan mengulas secara luas aneka bentuk determinisme. Pada bagian ini penulis akan menguraikan pelbagai pandangan yang berusaha menentang adanya kebebasan manusia. Dan berdasarkan bab kedua dan ketiga itu, pada bagian keempat penulis akan berusaha mensintesekan solusi Louis Leahy terhadap pandangan-pandangan yang menentang adanya kebebasan manusia. Bab kelima merupakan bagian penutup. Pada bagian ini pertama-tama kami berusaha menyimpulkan pembahasan tentang kebebasan dan determinisme dalam pemikiran Louis Leahy ini, setelah itu kami berusaha membuat analisa kritis atas pandangan Louis Leahy tersebut. Dalam analisis ini kami berusaha menemukan hal-hal yang patut dikembangkan dalam dunia pengetahuan dan hal-hal yang patut dikritik. Pembahasan kemudian kami lanjutkan dengan melihat relevansi pemikiran Louis Leahy ini dengan konteks dunia sekarang, khususnya situasi di Indonesia. Demikianlah kiranya garis besar pembahasan karya ilmiah ini. 8 1.8. Tentang Louis Leahy 1.8.1. Riwayat Hidup Louis Leahy Louis Leahy adalah guru besar filsafat, lahir di kota Quebec, Kanada pada tanggal 19 Agustus 1927. Louis Leahy masuk ordo Jesuit pada tahun 1947 dan ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1958. Sebelum bertugas sebagai dosen filsafat di Indonesia, Leahy pernah mengajar di fakultas-fakultas Serikat Yesus di Montreal dan Universitas Negeri Quebec sebagai guru besar tetap. Selain itu Leahy juga pernah memberikan kuliah-kuliah dosen tamu di Universitas Ottawa dan Universitas Sudbury di Kanada. Pada tahun 1969 - 1975 Leahy mengajar di Dalat, Vietnam. Pada tahun 1975 dia terpaksa meninggalkan Vietnam karena ancaman tindak kekerasan bagi orang asing terutama orang barat oleh rezim komunis Vietnam. Dalam kemelut itu Leahy termasuk dalam golongan orang yang diusir oleh rezim komunis Vietnam. Pengalaman ini sungguh-sungguh membekas dalam diri Louis Leahy. Hal itu terlihat dalam karyakaryanya, pengalaman-pengalaman itu sering menjadi sorotannya. Setelah diusir rezim komunis Vietnam, ia mengajar selama empat tahun di Afrika, terutama di Institut Teologi Afrika Barat, di Abidjan (Pantai gading), dan di Sekolah Tinggi Filsafat Kanisius, di Kinshasa (Congo) hingga tahun 1979. Akhirnya ia dipanggil kembali ke Asia Tenggara dan menetap di Indonesia untuk meneruskan pekerjaannya dalam pengajaran dan riset. Sepuluh tahun pertama di Indonesia, dia mengajar di IKIP Sanata Dharma Yogyakarta, sebagai dosen tetap jurusan filsafat dan Sosiologi Pendidikan. Pada tahun 1982 ia memberi kursus metodologi penelitian filsafat bagi dosen-dosen fakultas filsafat Universitas Gajah Mada. Tahun 1985 ia juga memberi ceramah-ceramah di fakultas Universitas Gajah Mada tentang antropologi dalam rangka penataran pra S-3. Sejak tahun 1990 Louis leahy menjadi dosen tetap di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta. Ia menjadi dosen tamu di Universitas Parahyangan Bandung dan menjadi pembantu program Magister Filsafat di Universitas Indonesia. Sampai saat ini Louis Leahy masih tetap menekuni pekerjaannya dalam bidang pengajaran dan riset di bidang filsafat di Indonesia. 9 1.8.2. Karya-karya Louis Leahy Karya-karya ilmiah yang ditulis oleh Louis Leahy dapat dibagi dalam dua bentuk, yaitu dalam bentuk artikel-artikel dan dalam bentuk buku-buku. Karya-karya yang ditulis dalam bentuk artikel antara lain:9 a. "Filsafat Ketuhanan", dalam Orientasi, XIII, Kanisius, Yogyakarta, 1981. b. "Sains dan Eksistensi Allah: suatu problematika baru" dalam Orientasi, XVI, Yogyakarta, 1984. c. "Masalah Kejahatan". dalam Basis, no. XXXV-2, 1986. d. "Kematian: sebuah akhir atau permulaan?", dalam Melintas, Bandung: Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, 1988. e. "Refleksi Kristis Terhadap Ateisme", dalam Rohani, no. 12, Desember 1988. f. "Perihal Makna Hidup", dalam dalam Zaman Teknologi Menantang Pewartaan Iman, (Orientasi Baru No. 3), Kanisius, Yogyakarta, 1989. g. "Reflections sur la liberte", dalam Dialogue, Montreal, 1963. h. "Experience religieuse et metaphysique", dalam Science et Esprit", 20, 127-138, 1968. I. "Christianisme et Freudisme: la foi interpellee", dalam Relations, Desember 1971. j. "la charge positive de la negativite", dalam Science et Esprit, 23, 1972. k. "Experience interieur et langage analogique", dalam Science et Esprit, 27, 1975. l. "The Contingency in the Cosmological Argument", dalam Religious Studies, Cambridge Univ. Press, March, 1976. m. "Human Mind and Ultimate Reality", dalam Ultimate Rality and Meaning, 7, 1984. Bentuk kedua dari karya-karya ilmiah yang ditulis oleh Louis Leahy adalah bentuk buku. Beberapa buku yang telah diterbitkan antara lain:10 a. Ou est L'Eglise? Edisi Bellarmin, Montreal, 1959. 9 Artikel-artikel Louis Leahy yang dipaparkan di sini adalah artikel-artikel yang sejauh ini dapat ditemukan oleh penulis. Dalam konteks ini penulis yakin bahwa sebenarnya masih ada banyak lagi artikel yang ditulis oleh Louis Leahy dan 10 b. Dynamisme voluntaire et jugement libre. Edisi Desclee-de-Brouwer, Bruges-Paris, 1963. c. L'ineluctable Absolu. Edisi Desclee-de-Brouwer, Bruges-Paris, 1965 d. Pantheisme, Action, Omega, chez Teilhard de Chardin, (Editing dan Kata Pengantar oleh pengarang). Edisi Desclee-de-Brouwer, Bruxelles-Paris, 1967. e. Chemins de l'esprit vers l'Etre. Edisi Desclee-de-Brouwer dan Bellarmin, Bruxelles-Paris-Montreal, 1969. (Buku ini memenangkan hadiah dari "Les Concours Litteraires", Kanada, Bagian Perancis, Seksi "Sciences de l'homme"). f. Con Nguoi va van-de Thuong De. Edisi Giao Hoang Hpc Vien Thanh Pio X, Dalat, 1974. g. L'homme et l'Absolu. Edisi dari L'Institut Superieur de Philosophie Canisius, Kinshasa, 1979. h. Hay La Huyen Thoai. Edisi Giao Hoang Hoc Vien Thanh Pio X, Dalat, 1974. I. Voies ouvertes sur Dieu. Edisi dari L'Institut Superieur de Philosophie Canisius, Kinshasa, 1979. j. L'homme, ce mystere. Pour une philosophie de l'homme. Edisi dari L'Institut Superieur de Philosophie Canisius, Kinshasa, 1981. k. Masalah Ketuhanan Dewasa Ini. Jilid I dari: Manusia di hadapan Allah. Kanisius (Yogyakarta) dan BPK Gunung Mulia (Jakarta), 1984, 1990. l. Manusia, Sebuah Misteri. Sintesa Filosofis tentang Makhluk Paradoksal, Penerbit Gramedia, Jakarta. Edisi pertama, 1984, 1985. Edisi kedua, yang diperbaharui, 1989. m. ALiran-aliran Besar Ateisme, Penerbit Kanisius (Yogyakarta), dan BPK Gunung Mulia (Jakarta), 1985, 1990, 1992. n. Kosmos, Manusia dan Allah. Jilid III dari: Manusia di hadapan Allah, Penerbit 10 Sekali lagi penulisan karya-karya Louis Leahy dalam bentuk buku ini belum mencakup semua. Sebagian dari buku-buku yang tertulis, terutama yang dalam bahasa Indonesia, sudah penulis temukan dan penulis baca. Akan tetapi bukubuku dalam bahasa asing memang sebagian besar tidak penulis temukan. Penulisan karya Louis Leahy dalam bagian ini hanya dimaksudkan sebagai usaha memperkenalkan karya-karya Louis Leahy. 11 Kanisius (Yogyakarta), dan BPK Gunung Mulia (Jakarta), 1986. o. Esai Filsafat Untuk Masa Kini. Telaah Masalah Roh-Materi Berdasarkan Data Empiris Baru, Penerbit Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1991. 1.8.3. Antropologi Filosofis Louis Leahy Filsafat adalah cara atau metode pemikiran yang tertib, berupa pertanyaan kepada diri sendiri tentang sifat dasar dan hakiki dari pelbagai kenyataan yang tampil di muka kita.11 Filsafat mencoba memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tentang hakekat kehidupan dan kegiatan manusia, tentang makna kebebasan dan mencintai, tentang dunia, waktu, alam semesta, manusia dan Tuhan. Antroplogi filosofis (Philosophical anthrophology) secara harafiah berarti pengetahuan filosofis mengenai manusia.12 Filsafat manusia sebagai salah satu cabang filsafat mencoba mengupas secara mendalam arti menjadi manusia. Filsafat manusia dalam arti ini berbeda dengan ilmu-ilmu pengetahuan tentang manusia, seperti biologi, psikologi, antropologi, sosiologi, etnologi, dan sebagainya. Ilmu-ilmu pengetahuan tentang manusia berdaya-upaya untuk menemukan hukum-hukum perbuatan manusia, sejauh perbuatan itu dapat dipelajari secara indrawi atau sejauh perbuatan itu dapat menjadi objek introspeksinya.13 Ilmu-ilmu pengetahuan tentang manusia hanya mempelajari manusia secara partial berdasarkan ruang gerak dan tujuan yang ingin mereka capai. Misalnya Biologi hanya akan menggeluti manusia dari aspek biologisnya saja, Psikologi akan menyoroti manusia berdasarkan aspek jiwanya, Sosiologi akan melihat manusia dalam kaitannya dengan segi sosialitas manusia, dan sebagainya. Filsafat manusia berbeda dengan ilmu-ilmu pengetahuan tentang manusia karena dia berusaha mengarahkan penyelidikan dan refleksinya pada segi yang lebih mendalam dari pribadi manusia. Filsafat manusia mempunyai karakter yang lebih fundamental dan 11 Bdk. Louis Leahy, Op.Cit., hal:1 12 Bdk. Lorens Bagus, Op.Cit., hal:58 13 Bdk. Louis Leahy, hal:7 12 ontologis, dan sudut pandangnya lebih luas dan lebih mempersatukan serta lebih global. Louis Leahy memberikan beberapa pendasaran yang dapat membawa kita untuk memperhatikan filsafat manusia. Pertama-tama adalah karena hakekat manusia sebagai makhluk yang bertanya. Manusia memikirkan dan mempertanyakan segala hal. Manusia adalah makhluk yang memiliki kemampuan akal budi, yang sampai batasbatas tertentu, mampu menyelidiki segala hal secara mendalam. Alasan kedua adalah karena hakekat manusia sebagai makhluk yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Manusia mempunyai tugas untuk mengenal dirinya sendiri, menganal hakekat sifat dirinya, kemampuannya dan cita-citanya. Dan alasan yang ketiga adalah karena hakekat manusia sebagai pribadi. Manusia mempunyai harga diri dan kehormatan yang membuatnya menolak untuk diperlakukan sebagai binatang atau benda. Membentuk dan mengerjakan suatu sistem filsafat manusia, menurut Louis Leahy merupakan usaha yang sulit dan berat. Alasanya adalah karena, terutama pada masa kini, semakin banyak bermunculan ilmu-ilmu pengetahuan manusia yang mencoba mendekati manusia dari sudut pandangnya sendiri. Alasan kedua adalah karena adanya kontroversi-kontroversi atau pertentangan-pertentangan solusi para pemikir dalam memberikan jawaban atas hakekat pribadi manusia, yang sering kali menjadi faktor utama munculnya kekurang-percayaan manusia pada disiplin filsafat manusia. Plato, misalnya, melihat manusia sebagai makhluk ilahi, sebaliknya bagi Epicuros manusia adalah makhluk hidup yang berumur pendek, lahir karena kebetulan dan tidak berisi apa-apa.14 Hobbes melihat manusia sebagai makhluk yang jahat (homo homini lupus), sedangkan Rousseau berpendapat bahwa manusia adalah makhluk yang secara kodrati baik. Marcel dan Buber memberi penegasan lain, yaitu bahwa manusia adalah makhluk yang punya nilai unik. Perbedaan-perbedaan itu juga muncul akibat perbedaan cara para pemikir dalam menggambarkan eksistensi manusia di dunia. Misalnya Plato berpendapat bahwa hidup manusia sudah ada dalam dunia abadi atau 14 Bdk. Louis Leahy, hal:3 13 dunia idea sebelum eksistensinya di dunia ini. Descartes menggambarkan manusia sebagai makhluk yang terbentuk dari campuran dua bahan, yaitu badan dan jiwa. Spinoza menegaskan bahwa eksistensi manusia itu hanyalah suatu bayangan, tanpa konsistensi pribadi dari substansi Ilahi. Meskipun muncul banyak perbedaan dari para pemikir dalam memandang dan menggambarkan manusia, namun masih tetap ada kemungkinan untuk berfilsafat tentang manusia. Ilmu-ilmu pengetahuan tentang manusia memberi gambaran kepada kita mengenai aspek-aspek manusia yang berbeda satu dengan yang lain. Namun demikian kita masih perlu bertanya pada diri sendiri: Apakah makhluk itu? Apa arti keseluruhan aspek yang membentuk pribadi manusia itu? Apa yang membentuk kesatuan pribadi manusia? Apa yang membedakan manusia dengan makhluk-makhluk lain di dunia ini? Bagaimanakah struktur esensial manusi itu? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini tidak muncul dalam ilmu-ilmu pengetahuan tentang manusia, sebaliknya filsafatlah yang mengemukakan dan mengupas persoalanpersoalan itu. Filsafat manusia, sebagaimana juga ilmu-ilmu pengetahuan tentang manusia, mengambil manusia sebagai obyek material. Sedangkan obyek formal filsafat manusia adalah inti manusia, alam kodratnya, strukturnya yang fundamental. Artinya adalah bahwa apa yang ingin dikatakan dan dimengerti oleh filsafat manusia ialah bukan bentuk fisiknya yang dapat diamati, dibayangkan, digambar, diukur; juga bukan bagian ini atau fungsi itu dari bentuk fisik ini, melainkan struktur metafisiknya, alasan adanya (principe d?etre), yaitu sesuatu ?yang oleh karenanya?, yang tanpa itu manusia tidak dapat dipikirkan. Jadi kalau filsafat mengatakan bahwa manusia terdiri dari badan dan jiwa, itu tidak berarti bahwa manusia seakan-akan terdiri dari dua hal yang dihubungkan, atau terdiri dari campuran dua bahan yang masing-masing dapat digambarkan dan diletakan secara terpisah. Tetapi itu merupakan pengakuan bahwa manusia itu ada sesuatu ?yang oleh karenanya? dia adalah material dan dapat binasa, serta ada sesuatu ?yang oleh karenanya? dia adalah makhluk yang hidup dan 14 berpikiran.15 Pada dasarnya filsafat itu bersifat interogatif. Sifat khas yang membedakan filsafat dan ilmu-ilmu pengetahuan adalah bahwa filsafat mempertanyakan ?yang oleh karenanya? secara fundamental. Dan karena itulah sering kali filsafat disebut sebagai bersifat meradikalisasikan. Filsafat tidak berhenti pada sikap bertanya itu, namun ia juga berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Metode yang dipakai oleh filsafat selalu bersifat dialektik; atau juga, kita tahu dalam perkembangan sejarah pemikiran, metode filsafat adalah bersifat refleksif, fenomenologis, induktif, abstraktif, eidetik. Dan dalam deretan metode filsafat ini Louis Leahy menambahkan satu metode lagi, yaitu metode metafisik. Disebut metode metafisik karena filsafat tidak bermaksud mencari struktur esensial apa yang fisik, yang dapat ditangkap oleh pancaindra, melainkan berusaha mengerti dan mengatakan bagaimana sesuatu itu harus dikonsepsikan sehingga ia intelegibel. Kata Metafisika berasal dari bahasa Yunani ?meta ta physika? (sesudah fisika; dalam bahasa inggris diterjemahkan dengan ?after the things of nature?).16 Aristoteles menyebut metafisika dengan filsafat pertama.17 Dia menggunakan istilah ?pertama? karena menurut Aristoteles metafisika merupakan pengenalan mengenai yang mendasar tentang realitas. Metafisika membahas mengenai natura atau kodrat yang ada dalam dirinya sendiri. Metafisika bergelut dengan yang ?metafisis?, dengan apa yang melampaui yang ?fisis?, dengan aspek-espek yang fundamental dari kenyataan. Kata ?fisis? di dalam konteks pembahasan kita berarti seluruh dunia pengalaman ragawi sejauh ia tunduk kepada alam, yaitu ia tuduk pada proses menjadi atau ? 15 Bdk. Louis Leahy, hal:11 16 Bdk. Paul Edwards (editor in chief), The Encyclopedia of Philosophy, Macmillan Publishing Co. Inc. & The Free Press, New York, 1967, hal: 289 17 Aristoteles sendiri tidak menggunakan istilah ?metafisika.? Istilah metafisika ini datang dari pandangan suatu buku yang tak berjudul karya Aristoteles dalam pengklasifikasian karya-karyanya yang dibuat oleh Andronikos dari Rhodos. (Bdk. Lorens Bagus, Op.Cit., hal: 624; juga DR. K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, Kanisius, Yogyakarta, 1988, hal:134) 15 dilahirkan? dengan cara tertentu. Maka istilah metafisis berarti apa yang secara hakiki tidak dapat dialami oleh pancaindra, tidak dapat berubah dan sedikit banyak bersifat rohani. Tetapi apa yang disebut metafisis di sini bukan berarti tidak dapat diketahui.18 Objek matafisika adalah ada sejauh ada dengan segala atribut yang menyertainya. Seperti sudah dikatakan di atas, sesuai dengan pengertian metafisika, Louis Leahy memaksudkan metode metafisika sebagai usaha mencari dan mengkonsepsikan struktur-struktur esensial bukan dari apa yang fisik, yang dapat ditangkap oleh pancaindra, tetapi dari apa yang melampaui fisik, yaitu suatu realitas bersifat sebagaimana dia bersifat, dan bukan yang lain. Dalam konteks filsafat manusia, metode metafisika dimaksudkan sebagai suatu usaha untuk mengerti dan memberi ciri manusia sebagaimana dia adalah manusia. Untuk mencapai tujuan ini menurut Louis Leahy tidaklah cukup hanya dengan menggambarkan dan memberi penjelasan tentang kelahiran manusia, asal-usulnya; atau tidaklah cukup hanya dengan menjelaskan secara badaniah bagaimana anggota-anggota tubuh manusia itu berfungsi. Untuk dapat mengerti dan memberi ciri pada manusia, kita perlu melihatnya sebagai makhluk yang bisa bicara, berpikir, menentukan sikap, mencintai, menguasai alam semesta, mengabdikan dirinya pada suatu cita-cita, bertendensi ke arah Yang Mutlak, merasakan kecemasan dan bahkan mengenal putus asa.19 18 Bdk. Lorens Bagus, Op.Cit., hal:624 19 Bdk. Louis Leahy, Op.Cit., hal:14 16 BAB II KEBEBASAN MANUSIA DALAM ANTROPOLOGI FILOSOFIS LOUIS LEAHY Pengantar Setelah membahas secara singkat Louis Leahy dan konsep antropologi filosofisnya, kini secara lebih mendalam penulis akan membahas konsep Louis Leahy tentang kebebasan manusia. Untuk sampai pada pembahasan tentang kebebasan manusia menurut Louis Leahy, pertama-tama kami akan membahas pemikiran Louis Leahy tentang manusia. Konsep manusia harus dibahas karena konsep Louis leahy tentang kebebasan manusia tidak bisa dilepaskan dari pemikirannya tentang manusia. Berdasarkan pemikirannya itu kami akan mencoba melihat, dan ini merupakan bagian inti dari pembahasan kami, pemikiran Louis Leahy tentang kebebasan manusia. 2.1. Konsep Manusia Dalam Pemikiran Louis Leahy 2.1.1. Kombinasi Roh Dan Materi Manusia sebagai pribadi mempunyai dua unsur esensial, yaitu roh dan badan.20 Manusia adalah kesatuan antara roh dan badan. Manusia bukanlah dualitas yang terdiri dari roh dan tubuh atau sebagai dua bagian dari aku yang terpisah satu dengan yang lain. Berbeda dengan pandangan para pemikir kuno, seperti nampak jelas dalam pemikiran Plato, 21 Louis Leahy berpendapat bahwa ?aku? merupakan kesatuan roh 20 Bdk. Dr. M.J. Langeveld, Menuju Kepemikiran Filsafat, P.T. Pembangunan, Jakarta, Tanpa tahun penerbitan, hal:225 dan tubuh.22 Paradoks yang muncul dari pemahaman ini adalah sebagai hal jasmani manusia berada dalam ruang dan waktu dan tunduk pada hukum jasmani atau hukum materi. Namun sebagai roh, manusia mengatasi ruang dan waktu. Karenanya ia juga hadir secara sempurna bagi dirinya sendiri dan mempunyai kemampuan mengasimilasikan seluruh alam semesta dan menyatukannya dengan dia sendiri.23 Menurut Leahy roh dan badan yang membentuk manusia itu merupakan satu ? ada? saja. Artinya sebagai yang membentuk pribadi manusia kedua unsur itu tidak bisa dilepaskan satu dengan yang lain. Manusia tidak bisa disebut manusia kalau hanya terdiri roh saja. Demikian juga manusia tidak bisa disebut manusia jikalau hanya terdiri atas tubuh saja. Hubungan antara tubuh dan roh itu dapat disamakan dengan hubungan antara materi (materia) dan bentuk (forma). Seperti materi tidak bisa dibayangkan tanpa bentuk tertentu dan di lain pihak seperti bentuk tidak mungkin berdiri sendiri, demikian juga roh dan badan hanya dapat dimengerti dalam hubungan satu sama lain.24 Dalam konteks pemahaman ini bentuk juga diartikan sebagai prinsip penyempurnaan, atau suatu rancangan hidup, atau suatu tujuan. Maka dari itu roh manusia didefinisikan antara lain juga sebagai bentuk sebuah badan manusia.25 Roh secara nyata menjadi dinamisme primordial dari suatu badan. Roh adalah katerarahan yang mekar dari manusia dan yang kita tunjukkan dengan kata ?aku?.26 22 Bdk. P. Leenhouwers, Op.Cit., hal:73 23 Bdk. Louis Leahy, Op.Cit., hal:182 24 Bdk. Prof. Dr. C.A. van Peursen, Tubuh Jiwa Roh: Sebuah Pengantar Dalam Filsafat Manusia, BPK Gunung Mulia, Jakarta Pusat, 1983, hal:104 25 Pengertian ini dapat dibandingkan dengan pemahaman Aristoteles tentang jiwa dan badan. Aristoteles menyebut jiwa sebagai ?entelekheia? artinya perealisasian yang seolah-olah berarti rencana induk bagi tubuh semacam itu. Jiwa sebagai perealisasian tubuh ada bersama tubuh, tidak pernah tanpa tubuh, meskipun jiwa itu sendiri bukanlah tubuh, jiwa ada dalam tubuh yang tertentu. Jadi dalam hal ini jiwa bukanlah suatu faktor metafisis yang tersembunyi, melainkan menyatakan diri secara konkrit dalam badan manusia. Antara jiwa dan tubuh selalu menunjuk yang satu kepada yang lain. (Bdk. Prof. Dr. C.A. Van Peursen, Op.Cit., hal:107) 26 Bdk. Prof. Dr. C.A. Van Peursen, Op.Cit., hal:174 Dia menjadikan badan sebagai badan. Dengan kata lain roh-lah yang memberi bentuk kepada badan. Dan pada akhirnya roh juga mempersatukan badan dengan dirinya dan memilikinya serta mengembangkannya. Roh mengikatkan diri dalam badan dan bersatu dengannya. Roh merupakan prinsip pemersatu dan pengatur. Roh juga merupakan prinsip kehidupan seluruh organisme. Akan tetapi dalam arti tertentu roh juga tergantung pada badan.27 Mengapa? Karena roh akan tetap sebuah roh dan bukan atau tidak bisa disebut manusia seandainya dia tidak bersatu dengan badan. Di lain pihak roh bertindak dalam badan itu sebagaimana dapat dibuat oleh sebuah roh. Roh yang bersatu dan mengikatkan diri dengan badan itu tetap dia yang adalah roh. Dimensi roh dengan demikian memberikan makna kepada pribadi manusia sebagai suatu yang bersifat imanen dan transenden terhadap badan. Karena unsur roh-nya, maka pribadi manusia melampaui dan menguasai batas-batas keber-tubuh-annya. Dia dengan dimensi rohaninya bersifat immaterial dan tak terikat pada ruang dan waktu. Dalam hal ini karakteristik badan tidak berada di luar intimitas kita secara total. Namun badan juga tidak sama secara sempurna dengan keakuan kita yang paling dalam. Dengan kata lain di dalam keakuan kita badan bukanlah melulu sebagai suatu obyek atau sebaliknya suatu subjektivitas semata-mata. Badan didefinisikan melalui hubungan eratnya dengan dunia dan partisipasinya dengan jiwa atau keakuan. Badan manusia, seperti juga badan yang tak berjiwa, berada dalam ruang dan waktu. Badan mempunyai bentuk material dan memiliki kumpulan organ perkembangan. Badan manusia, seperti juga badan hewan, diperlengkapi dengan indra-indra dan sistem penggerak. Ciri khas badan manusia, bila dibandingkan dengan badan hewani dan tumbuh-tumbuhan adalah ?posisi tegak?-nya.28 Hanya manusia yang mempunyai karakteristik ?erectus?(hanya manusia yang mendapat sebutan homo erectus). Kekhasan itu memungkinkan manusia melihat benda-benda dari atas dan sekaligus menunjukkan dan memudahkan peningkatan aktivitas roh. Badan manusia 27 Bdk. DR. J. Sudarminta, Filsafat Proses: Sebuah Pengantar Sistematik Filsafat Alfred North Whitehead, Kanisius, Yogyakarta, 1991, hal:63 28 Bdk. Louis Leahy, Op.Cit., hal: 49 diperlengkapi dengan sistem syaraf dan otak yang saling berhubungan erat dan mempengaruhi satu sama lain. Badan manusia merupakan dimensi esensial dari ?ada? manusia. Mengapa? Karena hanya dengan badan itulah manusia menjadi mungkin untuk berada di dunia dan berkomunikasi dengan ?ada-ada? yang lain di dunia ini. Badan adalah ?aku? manusia yang disituasikan dan diadaptasikan serta dijelmakan. Badan manusia adalah suatu instansi yang memeluk waktu dan ruang. Ia mewahyukan dan membawa manusia pada dunia. Dia adalah bagian yang secara esensial termasuk ? aku?. Namun demikian badan, seperti halnya roh - tetapi menurut arah yang sebaliknya - adalah badan oleh karena roh. Tubuh yang diukir atau dilukis bukan merupakan tubuh yang sejati. Sesosok mayat tidak dapat disebut tubuh dalam arti yang sebenarnya karena dia tidak lagi merupakan suatu organisme yang hidup. Jadi tubuh tanpa jiwa bukanlah tubuh yang sejati. Sampai di sini kita bisa menyimpulkan bahwa badan manusia tidak boleh direduksikan ke dalam eksterioritas dan subjektivitas, namun di lain pihak harus dikatakan bahwa dia bukan apa yang paling radikal dalam dimensi interioritas manusia, juga bukan faktor yang paling radikal dari subyektivitas manusia.29 Alasannya adalah karena badan pada hakekatnya berbeda dengan ?aku? manusia, tetapi sekaligus merupakan substansi yang sama dengan ?aku? manusia. Badan manusia berpartisipasi dengan rasionalitas dan spiritualitas ?aku? manusia. Dengan ke-erat-an hubungan itulah maka badan dan roh bersama-sama membentuk satu subyek substansial, yaitu manusia. 2.1.2. Pribadi Manusia Bersifat Subsistens Dan Terbuka Kata subsistensi berasal dari bahasa latin ?subsistere? (dari kata ?sub? yang berarti di bawah dan kata?sistere? yang berarti berdiri). Secara filosofis kata subsistensi diartikan sebagai suatu kemandirian ontologis yang ditentukan bukan dengan mangacu pada sesuatu yang lain di luar dirinya tetapi dengan mengacu pada 29 Bdk. Louis Leahy, Op.Cit., hal: 51 dirinya sendiri. Subsisten berarti ada dalam dirinya sendiri.30 Menurut Louis Leahy pribadi manusia itu bersifat subsistens karena dia bereksistensi dalam dan untuk dirinya sendiri. Manusia bersifat tertutup pada dirinya sendiri. Artinya bahwa dia adalah dirinya sendiri saja dan bukan serta tidak mampu menjadi makhluk lain.31 Manusia itu makhluk monadis. Ia mempunyai pengalamannya sendiri dan karena itu memiliki dunianya sendiri. Manusia adalah totalitas yang satu dan utuh. Artinya bahwa ?aku? dari manusia yang bertindak itu bukanlah merupakan suatu yang terpecah-pecah, melainkan merupakan kesatuan yang utuh yang disebut pribadi manusia.32 Manusia adalah penindak semua tindakannya. Manusia adalah pusat semua aktivitasnya. Manusia sebagai pribadi yang bersifat subsistens merupakan subyek dan dasar atau landasan pokok semua kegiatannya. Di lain pihak pribadi manusia itu punya sifat dasar lain yaitu ?terbuka?. Manusia adalah pribadi yang punya karakter transenden. Manusia bukanlah barang yang terletak di suatu tempat di samping barang-barang yang lain. Situasi eksistensial manusia tidak bisa direduksikan hanya dalam situasi ruang dan waktu. Mengapa? Karena manusia mempunyai sifat dasar melampaui dirinya di dalam dan karena kesadarannya. Sekaligus manusia adalah lebih daripada suatu kesadaran yang tertutup pada dirinya sendiri dan sama sekali terserap oleh kontemplasi khusuk tentang dunia batinnya.33 Lebih dari itu, manusia adalah pribadi yang mengatasi dirinya sendiri. Ia melampaui segala tujuannya dan tawaran-tawaran yang diberikan padanya. Tiada satu kesadaran pun yang sifatnya final bagi manusia. Manusia adalah pribadi yang sifatnya terbuka, bahwa dia secara hakiki adalah sebuah ?rencana?. Salah satu modus yang 30 Bdk. Lorens bagus, Op.Cit., hal:1049 31 Bdk. Louis Leahy, Op.Cit., hal:182 32 Bdk. Prof. I.R. Poedjawijatna, Manusia Dengan Alamnya : Filsafat Manusia, Bina Aksara, Jakarta, 1981, hal::88 33 Bdk. Prof. Dr. Louis Leahy, SJ, Filsafat Ketuhanan Kontemporer, Kanisius (Yogyakarta) dan BPK Gunung Mulia (Jakarta), 1993, hal:40 paling jelas dari transendensi manusia itu adalah kebutuhan untuk mengerti.34 Dengan masuk ke dalam dunia manusia menolak untuk merasa cukup dengan apa yang didapatkannya secara pribadi dalam realitas. Manusia menganggap dirinya selalu tidak lengkap. Maka dari itu manusia selalu berusaha dengan rasionya untuk membuat dunia ini dapat dimengerti dan pahami. Dan dengan usaha itu manusia berharap dapat memberikan dasar pada apa yang dialami dalam realitas kehidupan. Kemudian muncul pertanyaan: Sampai manakah terbentang kebutuhan untuk mengerti itu? Apakah yang secara definitif dapat memberikan dasar kepada pengalaman sesuai tuntutan akal? Suatu realitas dalam dunia ataukah Tuhan? Sampai pada titik ini kita harus mengatakan bahwa kesadaran manusia akan strukturnya yang mendalam (hakekatberfikir- terbatas) pada akhirnya memunculkan masalah manusia yang utama, yaitu masalah realitas ke mana ia secara radikal diarahkan; dan dari pertanyaan ini muncullah persoalan tentang Tuhan. Manusia adalah pribadi yang bersifat terbuka secara vertikal, yaitu terhadap Tuhan. Karena Tuhan adalah ?Sumber Terakhir? segala sesuatu, termasuk eksistensi manusia. Manusia adalah makhluk yang terdiri dari dimensi material dan dimensi rohani. Sebagai roh, manusia tidak bisa diperlakukan sebagai suatu sarana, melainkan harus ditampakkan sebagai tujuan. Manusia adalah totalitas dan pusat ke arah mana segala sesuatu tertuju. Manusia sebagai roh yang mengatasi ketentuan badaniah termasuk kategori makhluk spiritual. Manusia mempunyai pengalaman-pengalaman religius, yaitu pengalaman yang menyentuh sesuatu yang transenden.35 Manusia adalah makhluk yang bertransendensi oleh karena ia mampu keluar dari diri sendiri dan mampu menangkap hal-hal dunia sebagai realitas di luar batinnya. Manusia adalah makhluk transendental oleh sebab ia mampu menjangkau sesuatu yang transendental. Sebagai makhluk transendental manusia selalu terbuka secara vertikal kepada ? Sumber Terakhir? segala sesuatu, yaitu Tuhan. 34 Bdk. Prof. Dr. Louis Leahy, SJ, Op.Cit., hal:41 35 Bdk. DR. Theo Huijbers, Mencari Allah: Pengantar Ke Dalam Filsafat Ketuhanan, Kanisius, Yogyakarta, 1992, hal: 115 Selain sebagai pribadi yang bersifat terbuka secara vertikal, manusia juga adalah pribadi yang terbuka secara horisontal, yaitu terhadap pribadi di luar dirinya. Manusia adalah individu yang hidup di tengah-tengah individu lain. Inilah paradoks esensial dari pribadi manusia. Pada tempat pertama Louis Leahy mengatakan bahwa manusia adalah realitas yang subsistens, namun di lain pihak dia adalah pribadi yang bersifat terbuka. Paradoks ini masih ditambah lagi karena manusia juga merupakan pribadi yang berkarakter esensial untuk terbuka secara horisontal, yaitu terbuka pada lain-lain pribadi. Manusia yang bersifat subsistens itu pada dasarnya juga menyadari bahwa di samping dirinya masih ada diri yang lain. Manusia sebagai pribadi mempunyai ke-diri-sendiri-an, namun akibat pergaulan hidup sehari-hari manusia mempunyai kesadaran dan keyakinan bahwa terdapat makhluk lain yang mempunyai kesamaan sifat-sifat dengan dirinya. Keyakinan ini nyata dalam sikapnya terhadap pribadi lain, yang dengan sendirinya berlainan dengan sikapnya terhadap makhlukmakhluk yang tidak menyatakan dirinya sebagai eksistensi, yaitu tumbuhan dan binatang serta benda-benda. Hal itu berarti bahwa kenyataan adanya pribadi lain dalam hidup manusia tidak sama dengan kenyataan bahwa terdapat benda, tumbuhan dan binatang-binatang dalam hidup manusia. Adanya pribadi lain itu jauh lebih penting, bahkan untuk sebagian besar menentukan seluruh arti dan makna hidup.36 Pribadi manusia sebagai realitas yang bersifat terbuka secara horisontal mempunyai kesadaran yang senantiasa terarah ke luar, yaitu ke suatu obyek yang di luar dirinya sendiri. Inilah yang disebut karakter ?intensionalitas?37 pribadi manusia.38 Manusia sebagai 36 Bdk. Dr. Theo Huijbers, Manusia Merenungkan Dunianya, Kanisius, Yogyakarta, 1986, hal:40 37 Kata ?intensionalitas? berasal dari istilah bahasa latin ?intendere?, artinya ?mengarah kepada?. Kata ini dalam dunia filsafat mempunyai beberapa nuansa arti yang berbeda. Dalam konteks pembahasan ini kata intensionalitas lebih berarti sebagai kondisi, kemampuan kesadaran yang memungkinkan sesuatu untuk mengarahkan, menunjukkan atau mengacu pada sesuatu yang melampaui dirinya sendiri. Dalam kaca mata fenomenologi, kata intensionalitas diartikan sebagai keseluruhan kesadaran akan obyek-obyek. (Bdk. Lorens Bagus, Op.Cit., hal:362) pribadi dengan demikian bukanlah suatu subyek yang terkurung dalam dirinya sendiri. Dengan demikian karakter manusia sebagai realitas yang berifat terbuka itu bukanlah suatu tambahan pada pribadi manusia, melainkan merupakan hakekat eksistensi manusia sendiri. Hidup sebagai manusia berarti hidup sebagai yang ke luar dari imanensinya dan terarah kepada yang lain. Maka eksistensi pribadi saya dan eksistensi pribadi yang lain adalah korelatif: yang satu mengandaikan yang lain. Pribadi saya terarah kepada pribadi yang lain dan obyek-obyek di luar diri saya, dan pribadi yang lain dan obyek-obyek di luar diri saya juga terarah kepada diri saya. 2.1.3. Manusia Sebagai Pribadi Harus Mengembangkan Dirinya Eksistensi manusia bukanlah eksistensi yang statis. Pribadi manusia bukanlah sesuatu yang tak dapat berubah dan lengkap sejak semula. Karena itu sebagai substansi yang bereksistensi dalam, untuk, dan oleh dirinya sendiri dan sebagai prinsip kegiatankegiatan yang bersifat jasmani, inderawi dan intelektual, pribadi manusia merupakan suatu eksistensi yang harus berkembang.39 Tugas utama manusia sebagai pribadi yang bereksistensi adalah merealisir dirinya sendiri. Gagasan perealisasian diri ini sebenarnya juga terdapat atau berlaku bagi kelompok binatang dan tumbuh-tumbuhan. Namun gagasan itu akan nampak secara khas pada species manusia. Dalam arti ini dapat dikatakan bahwa hidup manusia adalah suatu ?tugas?. Artinya adalah manusia harus berusaha untuk mengembangkan dirinya secara penuh. Manusia adalah manusia, tetapi justru karena hidup selaku manusia belum ?selesai?, maka manusia harus berusaha memberi isi dan bentuk kepadanya. Hidup telah dipercayakan kepada manusia sendiri supaya manusia dengan kebebasan berkehendaknya memberi tanggapan secara konkrit panggilan dan tugasnya untuk mewujudkan diri.40 Manusia, seperti juga tumbuhan dan binatang-binatang, berkembang dan mengembangkan diri pertama-tama dengan asimilasi, yaitu dengan cara mengubah apa yang dimakan dan dicerna menjadi substansi dirinya sendiri. Dengan kegiatan ini maka manusia dan makhluk hidup lainnya merupakan subyek yang berkembang dari dalam 39 Bdk. Louis Leahy, Op.Cit., hal:183 40 Bdk. P. Leenhouwers, Op.Cit., hal:115 dirinya sendiri dan bukan ditentukan atau diperlengkapi dari luar. Manusia dan makhluk-makhluk hidup itu merupakan keseluruhan natural. Selain itu manusia dan makhluk-makhluk hidup lainnya juga mempunyai kemampuan untuk memulihkan dan mereproduksikan dirinya. Makhluk hidup, karena mempunyai sistem organisme sendiri, mampu untuk memulihkan luka-luka dalam dirinya dan juga mereproduksikan serta melipat-gandakan kuantitas dirinya. Makhluk hidup dari substansinya sendiri mampu ?melahirkan? suatu makhluk hidup lain yang mempunyai otonomi yang penuh dan yang menjadi gambaran dirinya. Itulah ke-?ada?-an yang khas pada makhluk hidup. Dan dengan cara itu makhluk hidup akan melestarikan dirinya. Ciri yang lain dari makhluk hidup adalah kemampuan bereaksi, yaitu mengadaptasikan diri, menghindari atau menentang bahaya, menyerang atau melarikan diri dari keadaankeadaan yang mengkondisikan eksistensinya. Kemampuan ini sesungguhnya merepresentasikan kemampuan makhluk hidup untuk menentukan dirinya sendiri. Mereka semua selalu melakukan kegiatan untuk tujuan konservasi dirinya dan pengembang-biakan species-speciesnya. Dalam konteks ini manusia menduduki tempat yang istimewa, karena hanya manusia yang mempunyai kemampuan untuk menentukan sendiri tujuan-tujuan hidupnya, sementara makhluk hidup yang lain menjadi tujuantujuan bagi dirinya sendiri. Secara metafisis ciri khas manusia sebagai makhluk yang menyempurnakan dirinya adalah mempunyai kemampuan untuk melaksanakan kegiatan imanen dan transitif. Kegiatan transitif adalah kegiatan yang memproduksi suatu efek di luar diri pelakunya, misalnya melukis. Sedangkan kegiatan imanen adalah kegiatan yang efeknya tetap di dalam makhluk. Pelakunya sekaligus merupakan prinsip dan akhir, sebagai kausa dan yang memanfaatkan (beneficiary).41 Sebagai makhluk yang menyempurnakan diri, manusia mempunyai dalam dirinya prinsip kesatuan substansial. Prinsip itu merupakan prinsip kesatuan yang dinamis dan yang menstrukturkan antara ada manusia dan sesuatu yang menciri-khaskan eksistensinya. Kesatuan itu adalah sesuatu yang oleh karenanya manusia 41 Bdk. Louis Leahy, Op.Cit., hal:37 dimungkinkan untuk mengembangkan dirinya untuk mencapai cita-cita dan tujuan hidupnya. Kesatuan substansial itu sekaligus juga merupakan sesuatu yang interior dan natural. Disebut sebagai sesuatu yang interior karena dia bukan merupakan penggabungan yang terjadi dari materi-materi. Sebaliknya karena dirinyalah manusia mengembangkan dirinya. Kesatuan itu adalah pusat atau inti yang merupakan sumber seluruh aktivitas manusia yang pada akhirnya juga akan kembali pada manusia sendiri. Disebut natural karena kesatuan itu telah menstrukturkan manusia sejak saat pertama. Karena itu kesatuan natural berada pada semua tahap perkembangan dan pada semua aspek kegiatan manusia.42 Akhirnya kita dapat mengatakan bahwa kesatuan substansial itu merupakan suatu yang secara esensial menyangkut kodrat manusia yang akan merealisasikan dirinya. Kesatuan substansial merupakan dinamisme manusia yang secara hakiki tak dapat direduksikan pada kategori sarana atau obyek. Manusia dengan kesatuan substansialnya adalah subyek yang mampu bertanggung-jawab atas dirinya sendiri. 2.1.4. Kesimpulan Pemikiran Louis Leahy tentang manusia sebenarnya bukanlah merupakan suatu pemikiran yang benar-banar baru. Louis Leahy dalam menggambarkan manusia tetap menyandarkan diri pada pemikiran-pemikiran para pemikir sebelumnya. Misalnya untuk mendefinisikan pribadi manusia, dia mengutip pemikiran Boetius: ?pribadi itu ialah substansi individual dari kodrat yang berakal?.43 Hal yang baru dalam pemahaman Louis Leahy tentang manusia adalah bahwa dia lebih menekankan aspek manusia sebagai pribadi dalam konteks pemikiran kontemporer dan paham personalisme. Manusia sebagai pribadi merupakan realitas yang mempunyai nilai dalam dirinya sendiri. Oleh karena itu manusia tak pernah dapat diperlakukan sebagai sarana 42 Bdk. Louis Leahy, Op.Cit., hal:38 43 Bdk. Julius Runtu, Rasa Berontak Terhadap Kejahatan Sebagai Titik Tolak Suatu Jalan Menuju Pengakuan Eksistensi Allah: Solusi Leahy Atas Masalah Kejahatan, STFT Widya Sasana, Malang, 1993, hal:44 atau sebagai obyek dari suatu tindakan. Sebaliknya manusia sebagai pribadi adalah tujuan setiap tindakan manusia. Louis Leahy berpendapat bahwa eksistensi pribadi manusia merupakan suatu realitas yang penuh dengan misteri dan keunikan. Pribadi manusia merupakan suatu eksistensi yang penuh dengan paradoks. Manusia sekaligus terbatas dan terbuka kepada kenyataan yang tidak terbatas, terkondisi dan bebas, kodrati dan budayani, fisik dan rohani, individual dan sosial, kosmik dan historik. 44 Pada tempat pertama Louis Leahy mengatakan bahwa manusia merupakan kesatuan roh dan materi. Manusia adalah roh yang membadan dan badan yang menge-roh. Sebagai realitas rohani manusia tidak terikat pada hukum ruang dan waktu. Manusia mengatasi batas-batas kebertubuhannya. Namun sebagai realitas jasmani manusia tunduk dan terbatas pada hukum ruang dan waktu. Paradoks kedua dari pribadi manusia adalah bahwa pribadi manusia adalah realitas yang subsistens sekaligus merupakan realitas yang terbuka. Manusia di satu pihak merupakan realitas dalam dirinya sendiri. Manusia adalah dia sebagai dirinya sendiri dan bukan sebagai yang lain. Dia tidak pernah bisa menjadi yang lain dari dirinya sendiri. Manusia tertutup terhadap sesuatu yang ada di luar dirinya sendiri. Namun di lain pihak manusia adalah pribadi yang terbuka secara horisontal dan vertikal. Manusia adalah eksistensi yang harus mengembangkan dirinya sendiri. Setelah berusaha menggali dan memahami pemikiran Louis Leahy tentang manusia, pada bagian berikut kita akan berusaha menggali dan memahami konsep Louis Leahy tentang kebebasan manusia. 2.2. Kebebasan Manusia Keinginan manusia untuk hidup dengan bebas merupakan salah satu keinginan insani yang sangat mendasar.45 Karena itu Louis Leahy memasukan prinsip kebebasan ini dalam salah satu dimensi esensial pribadi manusia. Faktor esensial kebebasan 44 Bdk. L. Leahy SJ, ?Perihal Makna Hidup?, dalam Zaman Teknologi Menantang Pewartaan Iman, (Orientasi No. 3), Kanisius, Yogyakarta, 1989, hal:145 45 Bdk. Dr. Nico Syukur Dister OFM, Op.Cit., hal:5 manusia inilah yang menyebabkan dan mendorong pelbagai tokoh untuk menyoroti masalah kebebasan. Dan sebagai akibat penyelidikan yang variatif terhadap kebebasan maka muncul bermacam-macam anggapan, pendapat dan pandangan yang sering kali berbeda satu sama lain. Dalam arti tertentu adanya perbedaan konsep itu dapat dimengerti karena kebebasan itu sendiri bukanlah sesuatu yang mutlak. Kebebasan mempunyai karakter relatif atau dibatasi oleh situasi dan kondisi manusia. Sebagai sesuatu yang relatif atau bersituasi, kebebasan manusia selalu bercampur dengan ketidak-bebasan. Maka manusia sebenarnya tidak pernah bebas secara penuh.46 Namun situasi dan kondisi manusia itu pada dasarnya bukan hanya merupakan faktor yang membatasi dan menghalangi kebebasan manusia, tetapi juga dan serentak merupakan faktor yang memungkinkan kebebasan. Alasannya adalah karena di luar situasi yang sifatnya terbatas itu manusia tidak mungkin dapat bertindak.47 Sebagai eksistensi, manusia selalu termuat dalam situasi-situasi tertentu, yaitu situasi-situasi batas. Sebagai eksistensi, manusia dapat menemukan dan merealisasikan dirinya sendiri di dunia ini.48 Oleh karena itu dalam kebebasan insani selalu terkandung berbagai aspek atau komponen yang saling mempengaruhi dan yang saling terjalin satu sama lain. 2.2.1. Pengertian Kebebasan Kata kebebasan sering diartikan sebagai suatu keadaan tiadanya penghalang, paksaan, beban atau kewajiban.49 Seorang manusia disebut bebas kalau perbuatannya tidak mungkin dapat dipaksakan atau ditentukan dari luar.50 Manusia yang bebas 46 Bdk. Dr. Nico Syukur Dister OFM, Op.Cit., hal:6 47 Pembahasan mengenai persoalan kebebasan dalam situasi-situasi keterbatasan manusia ini akan kami perdalam dalam pembahasan tentang Solusi Leahy atas paham determinisme. 48 Bdk. Harry Hamersma, Filsafat Eksistensi: Karl Jaspers, Gramedia, Jakarta, 1985, hal:13 49 Bdk. Dr. Nico Syukur Dister OFM, Op.Cit., hal:44 50 Bdk. Peter King, Towards A Theory Of The General Will, dalam ?History adalah manusia yang memiliki secara sendiri perbuatan-perbuatannya. Kebebasan adalah suatu kondisi tiadanya paksaan pada aktivitas saya.51 Manusia disebut bebas kalau dia sungguh-sungguh mengambil inisiatif dan bertanggung jawab atas perbuatannya. Dengan demikian kata bebas menunjuk kepada manusia sendiri yang mempunyai kemungkinan untuk memberi arah dan isi kepada perbuatannya.52 Hal itu juga berarti bahwa kebebasan mempunyai kaitan yang erat dengan kemampuan internal definitif penentuan diri, pengendalian diri, pengaturan diri dan pengarahan diri. ? Freedom is self-determination?.53 Berdasarkan pengertian itu dapat dikatakan bahwa kebebasan merupakan sesuatu sifat atau ciri khas perbuatan dan kelakuan yang hanya terdapat dalam manusia dan bukan pada binatang atau benda-benda. Kebebasan yang nampak secara sekilas dalam binatang-binatang pada dasarnya bukan kebebasan sejati. Mereka dapat menggerakkan tubuhnya ke mana saja, tetapi semuanya itu sebenarnya bukan berasal dari diri binatang itu sendiri. Gerakan binatang bukanlah hasil dorongan internal diri binatang. Kebebasan mereka adalah kebebasan sebagai produk dorongandorongan instingtualnya. Dengan istilah instingtual dimaksudkan tidak adanya peran akal budi dan kehendak. Dalam arti itu sebenarnya di dalam diri binatang-binatang tidak ada kebebasan. Di dalam diri binatang tidak ada self-determination atau kemampuan internal untuk menentukan dirinya. Sedang manusia mempunyai kemampuan untuk berhasrat dan berkeinginan. Ia mempunyai kecenderungan dan kehendak yang bebas. Manusia mempunyai kemampuan memilih. Karena itu dikatakan Of Philosophy Quarterly?, Vol.4, No.1, Januari, 1987, hal: 42 51 Bdk. Richard Taylor, Metaphysics, (third edition), Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, United States of America, 1983, hal:41 dan Arthur Ripstein, The General Will, dalam ?History Of Philosophy Quarterly?, Vol.9, No.1, Januari, 1992, hal:59 52 Bdk. P. Leenhouwers, Op.Cit., hal:90 53 Definisi ini kami kutip dari sub-judul pembahasan ?Freedom Means Responsibility?, (German Grisez / Russell Shaw, Beyond The New Morality: The Responsibility Of Freedom, University Of Notre Dame Press, London, 1974, hal:6) bahwa manusia adalah tuan atas perbuatannya sendiri.54 Kebebesan sejati hanya terdapat di dalam diri manusia karena di dalam diri manusia ada akal budi dan kehendak bebas. Kebebasan sebagai penentuan diri mengandaikan peran akal budi dan kehendak bebas manusia. Pengertian kebebasan yang diuraikan di atas merujuk pada pengertian kebebasan secara umum. Dalam merenungkan arti dan makna kebebasan kita tidak akan berhenti pada arti yang paling umum dan mendasar itu. Oleh karena itu pada bagian ini kita akan memperdalam arti kebebasan dalam arti-arti yang lebih khusus. Kebebasan dalam arti khusus ini tidak berarti lepas dari pengertian bebas secara umum. Kebebasan dalam arti khusus merupakan pengkhususan arti dari kebebasan dalam pengertian umum. Secara ringkas Louis Leahy membedakan tiga macam atau bentuk kebebasan, yaitu kebebasan fisik, kebebasan moral dan kebebasan psikologis. 2.2.1.1. Kebebasan Fisik Kebebasan fisik menurut Louis Leahy adalah ketiadaan paksaan fisik.55 Artinya adalah tidak adanya halangan atau rintangan-rintangan eksternal yang bersifat fisik atau material.56 Dalam konteks ini orang menganggap dirinya bebas jika ia bisa bergerak ke mana saja tanpa ada rintangan-rintangan eksternal. Ia dikatakan bebas secara fisik jika tidak dicegah secara fisik untuk berbuat sesuai dengan apa yang ia kehendaki. Seorang tahanan di sebuah sel tidak mempunyai kebebasan dalam arti ini karena dia secara fisik dibatasi. Dia akan bebas jika masa tahanannya sudah lewat.57 Dengan demikian paksaan di sini berarti bahwa fisik manusia diperalat oleh faktor eksternal untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang tidak ia kehendaki 54 Bdk. F.X. Mudji Sutrisno, Nilai Manusia, dalam ?Basis?, No.7, Tahun XXXVII, 1998, hal:244 55 Bdk. Louis Leahy, Op.Cit., hal:116 56 Bdk. Lorens bagus,Op.Cit., hal:406 57 Bdk. Christopher Gilbert, Freedom And Enslavement: Descartes On Passions And The Will, dalam ?History of Philosophy Quarterly?, Vol.15, No.2, April 1998, hal:183 atau yang ia kehendaki. Jangkaun kebebasan fisik juga ditentukan oleh kemampuan badan manusia sendiri. Jangkauan itu terbatas. Namun demikian hal itu tidak mengurangi melainkan justru mencirikan kebebasan manusia. Contohnya: bahwa manusia tidak bisa terbang itu bukan merupakan pengekangan terhadap kebebasannya. Hal itu semata-mata disebabkan oleh kemampuan badan manusia yang terbatas. Jadi sekali lagi yang dimaksud paksaan terhadap kebebasan fisik ini adalah pengekangan atau paksaan yang datang dari luar diri manusia. Misalnya dari lembaga atau orang lain.58 Kebebasan dalam pengertian ini bisa terdapat pada manusia atau binatang, bahkan pada tumbuhan atau objek yang tidak berjiwa. Yang membedakan manusia dengan binatang dan benda-benda itu adalah aspek kehendak akal budi manusia. Binatang menggerakkan tubuhnya sendiri, namun akar dari gerakan itu adalah dorongan instingtualnya. Sedangkan manusia bergerak karena dorongan kehendaknya. Kebebasan fisik adalah bentuk kebebasan yang paling sederhana atau dangkal. Karena bisa saja orang yang tidak bebas secara fisik, namun ia merasa sungguhsungguh bebas. Banyak para pejuang keadilan dan kebenaran pernah ditahan atau bahkan disiksa, namun mereka tetap merasa bebas. Tiadanya kebebasan fisik bisa disertai kebebasan dalam arti yang lebih mendalam.59 Kebebasan fisik sebenarnya bukan merupakan kebebasan yang sejati. Ia hanya merupakan bentuk kebebasan dalam pengertian yang sangat sederhana.Namun demikian kebebasan ini mempunyai makna yang esensial dan nilai yang positif. Kebebasan fisik dapat menjadi sarana untuk mencapai kebebasan yang sejati. 2.2.1.2. Kebebasan Psikologis 58 Bdk. Laurentius Heru Susanto, Op.Cit., hal:84 59 Bdk. K. Bertens, Op.Cit., hal:103 Kebebasan psikologis berarti ketiadaan paksaan secara psikologis.60 Orang dikatakan bebas secara psikologis jika ia mempunyai kemampuan untuk mengarahkan hidupnya. Orang dikatakan bebas secara psikologis jika ia mempunyai kemampuan dan kemungkinan untuk memilih pelbagai alternatif. Yang men-ciri-khas-kan kemampuan itu adalah adanya kehendak bebas. Karena itulah Louis Leahy mengidentikkan kebebasan psikologis dengan kebebasan untuk memilih atau kebebasan berkehendak.61 Kebebasan memilih atau kebebasan berkehendak sering pula dikatakan dalam arti kebebasan untuk mengambil keputusan berbuat atau tidak berbuat, atau kebebasan untuk berbuat dengan cara begini atau begitu, atau merupakan kemampuan untuk memberikan arti dan arah kepada hidup dan karya, atau merupakan kemampuan untuk menerima atau menolak kemungkinan-kemungkinan dan nilai-nilai yang terus-menerus ditawarkan kepada manusia.62 Kebebasan psikologis berkaitan erat dengan hakekat manusia sebagai makhluk yang berakal budi. Manusia ?bisa? berpikir sebelum bertindak. Ia menyadari dan mempertimbangkan tindakan-tindakannya.63 Karena itu jika orang bertindak secara bebas maka itu berarti ia tahu apa yang dilakukan dan tahu mengapa melakukannya.64 Jadi kebebasan berkehendak mengandaikan kesadaran dan kemampuan berpikir maupun kemampuan menilai dan mempertimbangkan arti dan bobot perbuatan sebelum manusia membuat suatu keputusan untuk bertindak.65 Dalam kebebasan psikologis kemungkinan memilih merupakan aspek yang penting. Konsekuensinya adalah tidak ada kebebasan jika tidak ada kemungkinan untuk memilih. Orang 60 Bdk. Louis Leahy, Op.Cit., hal:117 61 Bdk. Louis Leahy, Op.Cit., hal:117 62 Bdk. Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1992, hal:408 dan Louis Leahy, Op.Cit., hal:117 63 Bdk. Antonio Maher Lopes, Konsep Kebebasan Menurut Jean Paul Sartre, STFT Widya Sasana, Malang, 1991, hal:23-25 64 Bdk. K. Bertens, Op.Cit., hal:109 65 Bdk. Dr. Nico Syukur Dister OFM, Op.Cit., hal:54 dikatakan bebas dalam pengertian ini jika ia mempunyai kemungkinan untuk melakukan tindakan A dan bukan B.66 Kemungkinan untuk memilih adalah aspek yang penting, namun demikian aspek ini tidak bisa dijadikan tolok ukur untuk menilai kebebasan psikologis.67 Mengapa? Karena pemilihan bukan merupakan hakekat kebebasan psikologis. Hakekat kebebasan psikologis adalah kemampuan manusia untuk menentukan dirinya sendiri.68 Berbeda dari kebebasan fisik, kebebasan psikologis tidak bisa secara langsung dibatasi dari luar. Orang tidak bisa dipaksa untuk menghendaki sesuatu.69 Misalnya dalam peristiwa perampokan. Seandainya saya terpaksa menyerahkan semua uang dan harta yang saya punyai, penyerahan itu saya lakukan atas kehendak saya. Dalam arti itu saya masih bebas secara psikologis, karena saya masih mempunyai kemungkinan untuk memilih. Dan (mungkin) saya tidak bebas secara fisik, karena dalam perampokan itu saya diancam untuk dibunuh. Secara tidak langsung bentuk paksaan psikologis adalah pembatasan-pembatasan psikis yang memaksa seseorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu.70 Kebebasan psikologis juga dapat dihalangi dengan mengkondisikan orang sehingga tidak mungkin melakukan beberapa kegiatan tertentu. Misalnya seorang ibu yang mengharuskan anaknya untuk langsung pulang setelah jam sekolah selesai. Ibu itu membatasi kebebasan psikologis anaknya karena dia tidak memberi kemungkinan pada anaknya untuk melakukan tindakan lain selain langsung pulang setelah sekolah.71 66 Louis O. Kattsoff, Op.Cit., hal:409 67 Bdk. K. Bertens, Op.Cit., hal:109 68 Bdk. DR. Franz Magnis-Suseno, SJ, Etika Sosial: Buku Panduan Mahasiswa, Gramedia, Jakarta, 1989, hal:20 69 Bdk. DR. Franz von Magnis, Etika Umum: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Kanisius, Yogyakarta, 1985, hal:48 70 Bdk. Drs. Achmad Charris Zubair, Kuliah Etika, Rajawali Pers, Jakarta, 1990, hal:42 71 Bdk. Walter Glannon, Responsibility And The Principle Of Posible Action, dalam ?The Journal Of Philosophy?, Vol.XCII, No.5, Mei, 1995, hal:261- 2.2.1.3. Kebebasan Moral Louis Leahy mendefinisikan kebebasan moral sebagai ketiadaan paksaan moral hukum atau kewajiban.72 Kebebasan moral tidak sama dengan kebebasan psikologis. Meskipun demikian antara keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat. Kebebasan moral mengandaikan kebebasan psikologis. Sebaliknya jika ada kebebasan psikologis belum tentu ada kebebasan moral.73 Contohnya suatu ketika saya berjalan dan melihat sebuah dompet tergeletak di pinggir jalan tanpa pemilik. Pikiran yang muncul saat itu adalah ?saya mengambil dompet itu.? Dan memang kemudian saya mengambil dompet itu. Namun setelah mengambil dompet itu saya masih menimbang lagi: ?atau dompet ini saya kembalikan pada pemiliknya, atau saya mengambil dan tidak memberikan pada pemiliknya.? Dalam hal ini saya mempunyai kemungkinan atau kebebasan untuk memilih. Saya mempunyai kebebasan psikologis. Di lain pihak dalam tindakan saya itu tidak ada kebebasan moral. Alasannya adalah tindakan saya secara moral tidak bisa dipertanggung-jawabkan. Saya telah mengambil barang orang lain yang bukan hak saya. Contoh lain: Seorang wanita yang disandra yang harus memilih di antara dua pilihan, yaitu atau menyerahkan semua perhiasannya atau diperkosa. Pada akhirnya perempuan itu memilih untuk menyerahkan semua perhiasannya. Dalam pengertian kebebasan psikologis perbuatan perempuan itu adalah bebas karena perbuatan itu keluar dari kehendaknya. Dalam pilihannya itu ia menjadi penentu atas dirinya sendiri. Meskipun perempuan itu bebas secara psikologis, namun ia tidak bebas secara moral. Alasannya ialah karena perempuan itu memilih secara 262 72 Bdk. Louis Leahy, Op.Cit., hal:116 73 Bdk. K. Bertens, Op.Cit., hal:111 terpaksa.74 Ia dipaksa secara moral.75 Ia berhadapan dengan dua pilihan dilematis yang sama-sama mempunyai konsekuensi negatif. Perempuan itu menjadi tidak berdaya.76 Jadi dalam pengertian inilah kebebasan moral mengandaikan kebebasan psikologis. Dan sebaliknya jika ada kebebasan psikologis belum tentu ada kebebasan moral. Dan karena itulah kebebasan moral harus dibedakan dengan kebebasan psikologis dan kebebasan fisik. Kebebasan moral dapat dibatasi dengan pemberian larangan atau pewajiban secara moral.77 Orang yang tidak berada dibawah tekanan sebuah larangan atau berada dibawah suatu kewajiban adalah bebas dalam arti moral.78 2.2.2. Alasan-alasan Yang Membenarkan Adanya Kebebasan Kebebasan adalah suatu keadaan atau situasi di mana manusia benar-benar merasa diri sebagai seorang pribadi yang berdiri sendiri dan tidak diasingkan dari diri sendiri.79 Kebebasan adalah keadaan dan cara hidup yang stabil, yaitu suatu keadaan bebas, yang olehnya manusia menjadi tuan atas hidupnya sendiri dan memiliki diri sendiri. Di dalam keadaan seperti itu diandaikan manusia bisa mengambil dan mengatur tanggung jawabnya sendiri. Kondisi ideal seperti itu dalam kenyataan ternyata belum dialami oleh manusia secara penuh. Manusia masih harus berhadapan dengan pelbagai hal yang tidak sempurna. Manusia masih harus berhadapan dengan aneka pembatasan-pembatasan yang selalu menghalangi proses pengembangan 74 Bdk. Bernard Berofsky, Freedom From Necessity: The Metaphysical Basis Of Responsibility (Book Reviews), Routledge and Kegan Paul, New York, 1987, dalam ?The Journal Of Philosophy?, Vol.XC, No.2, Pebruari, 1993, hal:98 75 Bdk. Bernard J.F. Lonergan, Insight, Darton Longman and Todd, London, 1958, hal:627 76 Bdk. Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Kanisius, Yogyakarta, 1993, hal:28-29 77 Bdk. Contoh dalam: William H. Halverson, A Concise Introduction To Philosophy, (third edition), New York, 1976, hal:260-261 78 Bdk. DR. Franz magnis-Suseno, SJ, dkk, Etika Sosial: Buku Panduan Mahasiswa, Gramedia, Jakarta, 1989, hal:20-21 79 Bdk. P. Leenhouwers, Op.Cit., hal:93 hidupnya. Manusia masih harus berusaha mendobrak segala macam rintangan yang membelenggu kebebasan dirinya. Bahwa dalam kenyataan manusia senantiasa harus berjuang melawan bentuk-bentuk rintangan dan paksaan yang membatasi kebebasannya, merupakan tanda bahwa kebebasan manusia merupakan sesuatu yang senantiasa menuntut penyempurnaan. Manusia hidup dalam ruang dan waktu. Manusia adalah makhluk yang bertubuh. Maka pada hakekatnya kebebasan itu selalu terbatas.80 Manusia selalu tergantung pada lingkungan fisik dan sosial. Misalnya orang yang buta pasti tidak bisa menikmati keindahan seni lukis karena ia tidak mempunyai kemampuan visual. Seorang tuna rungu tidak bisa menikmati sebuah musik yang paling indah. Kenyataan adanya keterbatasan-keterbatasan dalam hidup manusia itu pada akhirnya melahirkan pandangan yang mengatakan bahwa kebebasan hanyalah sebuah slogan-slogan kosong dan ?wishful thingking? yang tidak mungkin dapat dicapai oleh semua orang. Maka pertanyaan-pertanyaan kritis juga muncul, yaitu: Apa manusia sungguh bebas? Benarkah manusia adalah tuan atas tindakannya sendiri? Benarkah manusia mempunyai kemampuan untuk menentukan dirinya sendiri? Bukankah dalam kenyataan kita sering berhadapan dengan pengalaman yang membuat kita berpikir bahwa kita tidak bebas? Bukankah kita sering berjumpa dengan pembatasanpembatasan dan rintangan-rintangan yang membuat kita tidak bebas? Kalau demikian apakah kebebasan itu hanyalah sebuah teori yang sama sekali tidak sesuai dengan kenyataan hidup manusia? Atau apakah kebebasan itu hanyalah sebuah ideal hidup manusia yang selama hidupnya harus diperjuangkan namun tak pernah akan tercapai secara penuh? Pertanyaan-pertanyaan kritis di atas secara langsung mendorong orang untuk membuktikan adanya kebebasan dalam hidup manusia. Atas pelbagai cara banyak pemikir yang mencoba membuktikan kebebasan. Kita sendiri, sebagai makluk yang bereksistensi sebenarnya juga ditantang untuk meyakinkan diri kita sendiri dan orang lain, bahwa kita adalah bebas. Bagaimanapun kita menginginkan kepastian. Namun 80 Bdk. P. Leenhouwers, Op.Cit., hal:95 ternyata tidak mudah memulai usaha untuk membuktikan adanya kebebasan, apalagi kebebasan tidak mungkin dibuktikan secara matematis. Pembuktian selalu mengandaikan adanya ?jarak? antara subyek yang meneliti dan obyek yang harus diteliti. Dalam hal ini kita akan menemukan kesulitan jika kita harus membuktikan kebebasan dalam diri manusia. Alasannya adalah karena antara kebebasan dan eksistensi manusia itu terdapat hubungan yang sangat erat, sehingga seakan-akan tidak mungkin manusia melepaskan diri dari padanya.81 Karena pembuktian secara matematis tidaklah mungkin, maka satu-satunya pembuktian yang bisa ditempuh adalah refleksi kritis. Louis Leahy dalam hal ini menempuh tiga jalan, yaitu dengan argumen persetujuan umum, argumen psikologis, dan argumen etis. Tiga jalan itu ditempuhnya terutama dalam kaitannya dengan pemikiran kritis para pemikir modern dan para ahli psikologi yang mengingkari adanya kebebasan dalam diri manusia. Sistem pemikiran mereka dikenal dengan sebutan ?Determinisme?. Mereka berkata bahwa pada dasarnya manusia itu tidak bebas. Segala perbuatan manusia dalam hidupnya telah ditentukan. 2.2.2.1. Argumen Persetujuan Umum Adanya kebebasan dalam diri manusia dapat dibuktikan berdasarkan argumen persetujuan umum. Artinya sebagian besar manusia percaya bahwa dirinya dan orang lain adalah bebas. Dan hal ini bukanlah sesuatu yang sifatnya teoretis, melainkan praktis, yaitu berdasarkan pengalaman. Setiap hari manusia mengalami bahwa dirinya adalah bebas, walaupun mungkin hanya dalam batas-batas tertentu, karena manusia harus berhadapan dengan pelbagai rintangan dan halangan. Kebebasan manusia terdapat dalam pergumulan terus-menerus dalam kesulitan dan rintangan, baik yang berasal dari dalam diri manusia sendiri maupun dari luar diri manusia. Perjuangan dalam pelbagai kesulitan itu menyadarkan manusia akan kebebasannya. Seandainya manusia tidak dibenturkan pada pelbagai bentuk rintangan dan halangan, ia tidak akan 81 Bdk. P. Leenhouwers, Op.Cit., hal:100 menyadari kebebasannya. Sebaliknya seandainya manusia menyadari bahwa dirinya tidak bebas, maka juga tidak mungkin ia akan berusaha berjuang mengatasi kesulitan dan rintangan yang menghalangi kebebasannya. Apalagi tidak mungkin ia berjuang mengubah sesuatu dalam diri pribadinya dan dalam lingkungan sekitarnya. Justru karena benturan-benturan pada yang lain itulah manusia menjadi sadar akan dirinya sendiri.82 Dengan demikian dimensi keterbatasan juga meniscayakan kesadaran akan kebebasan. Memang dalam kenyataan hidup sehari-hari ada begitu banyak bentuk pengalaman, serta ada pelbagai cara untuk menunjukkan bahwa manusia adalah bebas. Dengan caranya sendiri manusia dapat menunjukkan bahwa tindakannya merupakan corak asli dari ke-aku-annya dan bahwa pilihannya untuk melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan suatu tindakan benar-benar berasal dari dorongan internal dirinya dan tidak dapat diterangkan melulu oleh pengaruh eksternal. Misalnya orang yang mengalami kedamaian dalam batin atau suatu keadaan tenang. Dalam kondisi seperti itu ada orang yang menemukan bahwa dia berada di atas situasi yang mengelilinginya. Artinya bahwa dirinya tidak ditaklukkan oleh situasi itu dan bahwa dia mempunyai kemampuan dalam dirinya untuk memilih dan menempuh jalan yang sesuai dengan apa yang ia kehendaki. Dengan demikian dalam situasi terbatas pun manusia ternyata masih mempunyai kemampuan dalam dirinya untuk memberi corak sendiri pada hidupnya. Dan hal itu membuktikan bahwa manusia pada hakekatnya mempunyai kesadaran dan kemampuan untuk melihat tanda-tanda kebebasan pada dirinya sendiri dan kebebasan dalam konteks hidup sesamanya.83 2.2.2.2. Argumen Psikologis Bahwa dalam kenyataannya manusia adalah bebas juga dapat dibuktikan secara psikologis. Dalam pengalaman hidup sehari-hari manusia secara langsung atau tak langsung dapat menyadari hal itu. Secara langsung artinya adalah pada saat manusia melakukan suatu tindakan dia menyadari bahwa dirinya benar-benar mempunyai 82 Bdk. Dr. Nico Syukur Dister OFM, Op.Cit., hal:36 83 Bdk. P. Leenhouwers, Op.Cit., hal:100 kehendak bebas untuk melakukan suatu tindakan. Secara tidak langsung artinya berdasarkan pelbagai keadaan yang tak dapat dipisahkan dari tindakan manusia dan yang sungguh-sungguh menuntut adanya kebebasan sebagai syarat untuk dimengertinya tindakan itu.84 2.2.2.2.1. Kesadaran Langsung Akan Kebebasan Kesadaran langsung akan kebebasan artinya kesadaran manusia akan dirinya sebagai makhluk yang bebas yang muncul secara langsung pada saat dia melakukan suatu tindakan secara bebas. Kesadaran ini terjadi tatkala manusia membuat suatu pilihan atau ketika memutuskan untuk melakukan tindakan ini atau itu, atau bertindak dengan cara begini atau begitu, atau bahkan untuk bertindak atau tidak bertindak. Hal penting yang harus digaris-bawahi di dalam pengertian ini adalah bahwa pilihan untuk bertindak atau tidak bertindak itu selalu mengandaikan pemikiran manusia terlebih dahulu.85 Pada saat itu manusia benar-benar merasakan dan menyadari bahwa dirinya sama sekali tidak ditekan oleh faktor internal atau eksternal. Artinya bahwa ketika manusia memilih untuk bertindak atau tidak bertindak dirinya benar-benar tidak dikuasai oleh dorongan buta dan bahwa dia tidak diperlakukan seperti binatang yang tidak mampu berpikir atau juga seperti benda-benda lain. Contohnya ada seorang mahasiswa yang ketika pulang dari kampus melihat dompet tergeletak tanpa pemiliknya di sebuah jalan kecil. Muncul pemikiran pada waktu itu, yaitu "mengambil dompet itu". Namun pada saat pikiran itu muncul, di dalam diri mahasiswa itu juga muncul kesadaran bahwa jika ia mengambil dompet itu dan tidak mengembalikan pada pemiliknya, maka ia melakukan tindakan yang secara moral tidak bisa dipertanggungjawabkan. Setelah menimbang-nimbang, mahasiswa itu memutuskan: "Ya, saya akan mengambil dompet itu", atau sebaliknya: "Saya akan mengembalikan dompet itu kepada pemiliknya". Pada saat mahasiswa itu memutuskan dengan menjawab ya atau 84 Bdk. Louis Leahy, Op.Cit., hal:121 85 Bdk. DR. P. Hardono Hadi, Jati Diri Manusia: Berdasarkan Filsafat Organisme Whitehead, Kanisius, Yogyakarta, 1996, hal:161-163 tidak, ia sadar secara penuh bahwa dirinya telah mengambil keputusan secara bebas. Secara moral keputusan itu keluar dari "aku" mahasiswa yang terdalam atau dari kehendaknya yang bebas. Keputusan itu diambil dalam kondisi tanpa adanya pengaruh atau paksaan faktor-faktor eksternal. Keputusan itu lahir dengan dibarengi oleh kesadaran bahwa secara moral saya bebas untuk mengambil keputusan untuk melakukan tindakan. 2.2.2.2.2. Kesadaran Tak Langsung Dalam pengalaman hidup sehari-hari yang kita sadari sering kita menemukan bahwa suatu tindakan yang kita lakukan itu sungguh-sungguh tidak bisa terjadi seandainya kita tidak bebas. Misalnya kita merundingkan sebuah persoalan. Di dalam berunding diandaikan ada kebebasan dalam diri setiap orang yang ikut di dalamnya. Karena jika tidak ada kebebasan, maka pasti juga tidak ada suatu perundingan. Mungkin yang ada justru pemaksaan kehendak. Dan pengalaman itu mengisyaratkan bahwa kita bisa berbuat lain. Artinya bahwa orang yang melakukan perbuatan itu tidak dipaksa untuk melakukan tindakan secara demikian. Contoh lain misalnya kita mengagumi seorang yang sangat cemerlang dalam prestasi akademis. Atau kita memuji teman kita yang sukses dalam olah raga tinju. Prestasi-prestasi semacam itu mengandaikan adanya kemampuan dari individu untuk mengatasi semua kesulitan atau rintangan-rintangan. Dan kebebasan pada dasarnya merupakan kemampuan untuk mengatasi rintangan-rintangan itu. Di mana letak aspek ketidak-langsungan kesadaran akan kebebasan dalam tindakan-tindakan di atas? Letaknya adalah di dalam sikap ?mengakui? akan adanya kebebasan. Di dalam sikap memuji atau mengagumi keberhasilan prestasi itu orang secara tidak langsung mengakui adanya kebebasan. Mengapa? Keberhasilan dalam prestasi mengandaikan adanya kemampuan mengatasi ?kesulitan-kesulitan?.86 Dan penguasaan kesulitan-kesulitan itu merupakan bentuk dari kebebasan manusia. Jadi 86 Pengertian kesulitan dalam konteks ini bukanlah dalam arti fisik, tetapi psikologis. Dengan kata lain kesulitan yang kami maksudkan di sini adalah kesulitan intern pada subyek jika orang mengagumi keberhasilan prestasi maka secara tidak langsung orang juga pasti mengakui adanya kebebasan. 2.2.2.3. Argumen Etik Hubungan antara kebebasan dan tanggung jawab moral sangat erat. Maka tidak mengherankan kalau kedua istilah itu sering digunakan secara bersama-sama. Seandainya tidak ada kebebasan maka tidak akan ada tanggung jawab moral.87 Di dalam hidup manusia dikenal prinsip: ?harus melakukan yang baik dan menghindari yang jahat?. Ungkapan itu merupakan suatu yang asasi dari hati nurani manusia. Ia adalah dasar dari kewajiban moral dan di dalamnya terkandung arti sangat mendasar kebebasan berkehendak. Hal itu karena kewajiban moral selalu adalah keharusan untuk berbuat sesuatu secara bebas. Dan kewajiban moral selalu mengandaikan adanya kebebasan.88 Nilai-nilai moral merupakan cita-cita setiap manusia, dan jarak yang memisahkan manusia dari nilai-nilai itu dihayati oleh manusia sebagai ketidaksempurnaan manusiawi. Kesadaran bahwa manusia adalah makhluk yang dilingkupi oleh ketidak-sempurnaan juga termasuk dalam penghayatan akan kebebasannya. Dengan kata lain, manusia menghayati kebebasannya dalam situasi-situasi ketidaksempurnaan moral manusiawi. Dalam sejarah perkembangan manusia hal itu terbukti bahwa justru karena kesadaran akan kekurangan atau kesalahan dan ketidaksempurnaan moralnya, manusia mempunyai kesadaran akan kebebasannya, yaitu bahwa dirinya dapat berbuat lain dari pada apa yang ditentukan dari lingkungan di luar dirinya.89 2.2.3. Kebebasan Horisontal dan Kebebasan Vertikal Kebebasan yang ada dalam diri manusia memperlihatkan diri sebagai suatu 87 Bdk. Walter Glannon, Op.Cit., hal:261-263 88 Bdk. Franz Magnis-Suseno, Op.Cit., hal:21 89 Bdk. Kej. 3:1-24. kemampuan yang dengannya manusia membentuk diri secara moral. Ada bentukbentuk kebebasan yang pada dasarnya tidak berkaitan dengan bidang-bidang moral, seperti kebebasan fisik. Namun keputusan-keputusan kebebasan yang sejati biasanya senantiasa berhubungan dengan tanggung jawab moral.90 Keputusan kebebasan sejati biasanya tidak tergantung hanya pada soal puas atau tidak puas, atau soal untung atau tidak untung secara jasmani. Artinya keputusan itu tidak didasarkan pada pemuasan aspek inferior manusia, atau tuntutan-tuntutan egoisme manusia, atau keuntungankeuntungan pribadi yang sempit, namun lebih dalam dari itu, keputusan itu di dasarkan pada pertimbangan pemuasan kodrat spiritual, atau tuntutan cinta kasih dan kemurahan hati terhadap sesama manusia. Inilah yang oleh Louis Leahy disebut kebebasan horisontal.91 Jadi dalam pemahaman Louis Leahy kebebasan manusia yang sejati adalah kebebasan yang senantiasa terarah kepada sesama manusia. Dengan kata lain kebebasan itu tidak dilakukan ?hanya? demi ?kepentingan-kepentingan? diri saya secara pribadi malainkan juga demi tuntutan cinta kasih dan kemurahan hati kepada sesama manusia. Dan inilah yang disebut aspek horisontal kebebasan manusia. Dasar pemahaman ini adalah aspek moral dari kebebasan manusia. Manusia yang bebas tidak hanya dutuntut untuk mempertanggung-jawabkan kebebasannya kepada dirinya sendiri, malainkan juga kepada sesamanya. Aspek lain dari kebebasan adalah aspek vertikal. Louis Leahy mengartikan kebebasan vertikal sebagai keputusan yang menyangkut tingkatan di mana orang ingin membangun seluruh hidupnya; sebagai keputusan yang tidak lagi menyangkut saranasarana, tetapi tujuan.92 Tujuan manusia adalah kebahagiaan. Di sini muncul persoalan apa itu isi kebahagiaan manusia? Bisa saja orang mengartikan kebahagiaan itu dari mengejar keuntungan-keuntungan pribadi. Kebahagiaan juga dapat diartikan sebagai apa yang memberikan kesenangan terbesar padanya. Misalnya uang banyak atau harta 90 Bdk. Robert Sokolowski, Moral Action: A Phenomenological Study, Indiana University Press, Blommington, 1985, hal:71 91 Bdk. Louis Leahy, Op.Cit., hal:133-134 92 Bdk. Louis Leahy, Op.Cit., hal:135 berlimpah yang menguntungkan dirinya. Dalam semua kegiatan itu manusia memang bebas. Namun kebebasan vertikal tidak diartikan secara demikian. Kebebasan vertikal mempunyai pertimbangan-pertimbangan yang lebih tinggi dari sekedar kepuasan egoisme, seksual, finansial, sosial, politik dan sebagainya. Kebebasan vertikal merupakan kebebasan yang terarah kepada kebahagiaan yang sejati. Dalam pemikiran Louis Leahy kebahagiaan sejati itu adalah Tuhan. Jadi kebebasan vertikal adalah kebebasan yang tertuju pada Tuhan. Dasar pemikiran ini adalah karena hakekat manusia yang terbuka baik secara horisontal maupun secara vertikal.93 Sebagai makhluk yang mempunyai keterbukaan vertikal secara moral manusia juga harus mengarahkan kebebasannya secara vertikal. 93 Bdk. Pembahasan kami pada bagian 2.1.2 tentang hekekat manusia sebagai makhluk yang subsisten dan terbuka BAB III DETERMINISME DAN KEBEBASAN MANUSIA Pengantar Pada bab II kami sudah menguraikan secara lebih terinci gagasan-gagasan pokok Louis Leahy tentang kebebasan. Pada dasarnya Louis Leahy ?setuju? bahwa manusia itu bebas. Mengapa? Karena memang ada bukti-bukti akurat yang ditemukan dalam kehidupan manusia yang secara hakiki mengatakan bahwa manusia itu bebas. Pada bab III ini kami akan menguraikan pendapat yang sebaliknya, yaitu pendapat yang berusaha menyangkal bahwa manusia itu bebas. Pendapat itu muncul dalam aliran determinisme. Mereka menyangkal kebebasan manusia karena memang ada bukti-bukti yang menunjukkan bahwa manusia itu tidak bebas. 3.1. Pengertian Determinisme Kata determinisme berasal dari bahasa latin ?determinare? yang berarti menentukan batas atau membatasi. Determinisme merupakan tesis filosofis yang menyatakan bahwa segala sesuatu di dunia ini, termasuk manusia, ditentukan oleh hukum sebab akibat.94 Tidak ada hal yang terjadi berdasarkan kebebasan berkehendak atau kebebasan memilih. Juga di dunia ini tidak ada hal yang terjadi secara kebetulan.95 Artinya sesuatu hal itu bisa terjadi karena telah ditentukan untuk terjadi. Dengan tesis itu aliran determinisme hendak mengatakan bahwa di dunia ini tidak ada kebebasan.96 Determinisme menyatakan bahwa perilaku manusia ditentukan oleh faktor- 94 Bdk. Encyclopedia International, Vol.5, Grolier Incorporated, New York, Montreal, 1963, hal:566 dan Antony Harrison-Barbet, Mastering Philosophy, The macmillan Press Ltd., London, 1990, hal:326 95 Bdk. Ensiklopedi Nasional Indonesia, Vol. 4, PT. Cipta Adi Pustaka, Jakarta, 1989, hal:317 dan William F. Frankena, Ethics, second edition, Prentice- Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey, 1973, hal:73 96 Bdk. J.L. Mackie, Ethics: Inventing Rights And Wrong, Pinguin Group, London, 1990, hal:217 faktor yang dapat ditunjukkan secara jelas. Faktor-faktor itu berupa motif yang tidak disadari, 97 pengaruh masa kecil, pengaruh keturunan, pengaruh kultural, dan lain sebagainya.98 Dan aliran ini berpendapat bahwa seandainya manusia mengingat dan mengetahui apa saja yang dapat mempengaruhinya, maka semua tindakan manusia dapat diperhitungkan sebelumnya. Kalau sekarang manusia belum bisa menentukan dan belum mengetahui apa yang akan dilakukan dalam menghadapi hal-hal tertentu yang mungkin akan terjadi, itu karena manusia belum mempunyai pengetahuan yang cukup mendalam tentang hal-hal yang menentukan tindakan-tindakannya.99 Atau bahkan karena manusia tidak mau memperhatikan sebab-sebab yang menentukan setiap tindakan mereka.100 Dalam dunia ilmu pengetahuan kata determinisme itu mendapat pelbagai bentuk istilah. Istilah-istilah itu muncul karena aneka ragam pandangan dan pertimbangan dalam pemikiran. Dalam pembahasan ini kita akan mencoba melihat sekilas bentuk-bentuk istilah itu. Di antaranya adalah determinisme universal, behaviorisme, fatalisme, dan predestinasi. 3.1.1. Determinisme Universal Determenisme universal merupakan teori tentang alam semesta. Teori ini mengatakan bahwa setiap peristiwa yang terjadi di alam semesta merupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindarkan dari sebab-sebab yang mendahului. Sebabsebab itu adalah hukum alam.101 Determinisme universal juga berpendapat bahwa 97 Bdk. DR. H. Devos, Pengantar Etika, PT. Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1987, hal:144 98 Bdk. Ensiklopedi Nasional Indonesia, Vol.4, Op.Cit., hal:317 99 Bdk. Prof. I.R. Poedjawiyatna, Manusia Dengan Alamnya: Filsafat Manusia, Bina Aksara, Jakarta, 1981, hal:117 100 Bdk. Robert C. Solomon dan Drs. R. Andre Karo-Karo, Etika: Suatu Pengantar, Erlangga, Jakarta, 1987, hal:93 101 Bdk. Michael Slote, Selective Necessity And The Free-Will Problem, dalam ?The Journal Of Philosophy?, Vol.LXXIX, No.1, January, 1982, hal:5 bentuk jagat raya ini merupakan hasil determenasi dari hukum-hukum alam yang ada di dalamnya.102 3.1.2. Behaviorisme Behaviorisme berasal dari kata ?behavior? yang berarti tingkah laku. Behaviorisme merupakan aliran dalam psikologi yang mempelajari perilaku manusia.103 Secara khusus pusat perhatian mereka adalah perilaku manusia yang nampak. Di dalamnya mereka berusaha mengamati hubungan antara stimulus (rangsangan) dan respon (tanggapan). John B. Watson104 menyatakan bahwa kepribadian manusia merupakan hasil pembentukan kebiasaan dan kemampuan, terutama yang ditentukan oleh orang lain. Pembiasaan ini pada akhirnya menciptakan ?refleks kondisional?, yaitu suatu pola tingkah laku yang terjadi secara spontan karena pembiasaan terusmenerus. 105 Pavlov, seorang penganut behaviorisme di Rusia, membuktikan bahwa jika seekor anjing terus-menerus mendengar suatu tanda (bunyi) tertentu, misalnya lonceng, sebelum diberi makan, maka binatang itu akan mengeluarkan air liur setiap kali mendengar lonceng.106 Suatu refleks kondisional terjadi. Teori ini juga mengatakan bahwa keputusan-keputusan dan pilihan manusia merupakan hasil gabungan dari 102 Bdk. William H. Halverson, A Concise Introduction To Philosophy, third edition, Random Hause, New York, 1976, hal:247 103 Bdk. A. Mangunhardjana, Isme-Isme Dari A Sampai Z, Kanisius, Yogyakarta, 1997, hal:32 104 John B. Watson adalah pendiri aliran psikologi behaviorisme. Ia pernah belajar di Universitas Chicago yang merupakan pusat fungsionalisme. Namun karena tidak setuju dengan fungsionalisme akhirnya ia pindah ke Universitas John Hopkins. Karya Watson yang dianggap sebagai titik tolak berdirinya psikologi behaviorisme adalah ?Psychology as the Behaviorist Views It?. (Bdk. Ensiklopedi Nasional Indonesia, Vol.3, PT. Cipta Adi Pustaka, Jakarta, 1989, hal:238-239) 105 Bdk. Dr. A. Supratiknya, Teori-Teori Sifat Dan Behavioristik, Kanisius, Yogyakarta, 1993, hal:211 106 Bdk. Ensiklopedi Nasional Indonesia, Vol.3, Op.Cit., hal:328 rentetan sebab-sebab yang sangat kompleks.107 3.1.3. Fatalisme Fatalisme berasal dari kata Latin ?fatum? yang berarti nasib atau takdir.108 Fatalisme adalah paham yang menyatakan bahwa semua kejadian alam semesta dan hidup manusia berada di bawah kuasa penuh suatu prinsip mutlak, yaitu nasib. Menurut aliran ini manusia tidak memiliki kebebasan karena semua pilihannya sudah ditentukan oleh nasib.109 3.1.4. Predestinasi. Predestinasi berasal dari bahasa Latin ?praedestinare? yang berarti meramal atau menebak. Predestinasi mengajarkan bahwa peristiwa yang sudah terjadi, sedang terjadi, dan yang akan terjadi telah ditentukan untuk terjadi oleh Allah.110 Dalam konteks teologi aliran ini mengajarkan bahwa keselamatan atau penghukuman manusia, mulai dari awal sampai akhir, sudah ditentukan oleh Allah.111 Dengan gagasannya itu penganut predestinasi menyatakan bahwa Allah memiliki kekuasaan absolut. Allah menentukan bukan hanya disposisi final manusia tetapi juga seluruh peristiwa hidup manusia. Dan karena itulah predestinasi juga termasuk salah satu aliran determinisme.112 107 Bdk. R.A. Hinde, Biological Bases Of Human Social Behaviour, McGraw-Hill Book Company, New York, 1974, hal:35 108 Bdk. Lorens Bagus, Op.Cit., hal 228 109 Bdk. Joseph M. de More, Christian Philosophy, Vera-Reyes, Inc., Philippines, 1980, hal:188 110 Bdk. Paul Edward (ed), The Encyclopedia Of Philosophy, Vol.3, Macmillan Pub. Co. Inc and The Free Press, 1967, hal:363 111 Bdk. Leon Morris, Teologi Perjanjian Baru, Gandum Mas, Malang, 1996, hal:32 112 Bdk. Lorens Bagus, Op.Cit., hal:881 3.2. Determinisme Fisik Determinisme fisik atau juga disebut determinisme naturalis menurut Louis Leahy adalah determinisme hukum-hukum dari alam semesta sebagai sistem material.113 Hukum-hukum alam semesta pada dasarnya merupakan rangkaian dari hukum sebab dan akibat.114 Aliran ini menyatakan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini telah dideterminasikan secara kausal. Atau dengan kata lain segala sesuatu yang ada di dunia ini harus mempunyai sebab.115 Jika tidak memiliki sebab pasti tidak ada.116 Karena manusia hidup dalam alam semesta, maka manusia secara pasti tidak bisa menghindarkan dirinya dari hukum-hukum itu.117 Semua tindakan dan keputusan yang diambil oleh manusia merupakan bentuk determinasi faktor-faktor fisik yang bisa dikalkulir lebih dahulu. Dengan demikian pada dasarnya manusia tidak memiliki kebebasan selama dia hidup dalam kosmos. Manusia di dalam kosmos adalah manusia yang hidupnya terikat pada determinisme lingkungan fisik. Dalam pandangan determinisme fisik, manusia dimengerti sebagai sebuah sistem material yang tidak memiliki kehendak bebas.118 Dengan demikian determinisme fisik pada dasarnya merupakan bentuk aliran materialisme. Materialisme mereduksi pribadi manusia menjadi sistem material belaka. Aliran materialisme yang ekstrim disebut materialisme mekanistik. Aliran ini mengembangkan prinsip bahwa dunia dan 113 Bdk. Louis Leahy, Op.Cit., hal:136 114 Bdk. Grolier Universal Encyclopedia, Vol.3, Grolier Incorporated, New York, Montreal, 1965, hal:467 115 Bdk. Michael E. Levin, Metaphysics And The Mindbody Problem, Qlorendom Press, Oxford, 1979, hal:227 116 Bdk. Ed. L. Miller, Questions That Matter: An Invitation To Philosophy, second edition, McGraw-Hill, Inc., United States Of America, 1987, hal:175 117 Bdk. Prof. Ir. Poedjawiyatna, Etika: Filsafat Tingkah Laku, Rineka Cipta, Jakarta, 1996, hal:18 118 Bdk. Prof. Ir. Poedjawiyatna, Op.Cit., hal:18 segala sesuatu yang ada di dalamnya dideterminasikan oleh hukum-hukum yang pasti dan tak dapat berubah. Dunia dan segala sesuatu yang ada di dalamnya adalah sebuah mesin. Dikatakan sebagai sebuah mesin karena segalanya telah ditentukan secara demikian oleh sebab-sebab yang mendahuluinya. 119 Begitu juga manusia, sebagai yang ada di dunia ini, dimengerti sebagai sebuah mesin. 120 Ajaran mekanistik berawal dari para filsuf atomis (Leukippos, Demokritos dan Epikuros). Dalam perkembangan kemudian, aliran ini dihidupkan kembali oleh Thomas Hobbes dan dikembangkan oleh La Mettrie.121 3.2.1. Para Filsof Atomis Leukippos adalah pendasar aliran atomisme.122 Sedangkan Demokritos dari Abdera merupakan salah satu filsof atomis yang mengembangkan ajaran Leukippos. Menurut Leukippos dan Demokritos semua substansi terdiri atas atom-atom.123 Atomatom itu tidak dijadikan dan tidak dapat dimusnahkan serta tidak berubah. Aliran atomisme ini kemudian dikembangkan oleh Epikuros. Epikuros berpendapat bahwa segala yang ada terdiri atas atom-atom.124 Dia juga mengatakan bahwa segala sesuatu yang ada ditentukan oleh hukum-hukum fisik. Dan tentang manusia dia mengatakan bahwa manusia tidak memiliki kebebasan karena semua tindakan manusia 119 Bdk. The Catholic Encyclopedia For school and Home, Vol.3, St. Joseph?s Seminary and College, Philiphines, 1965, hal:474 120 Bdk. Ed. L. Miller, Op.Cit., hal:177 121 Bdk. Encyclopedia Americana, Vol.12, Americana Corporation, New York, 1975, hal: 47 122 Bdk. Dr. K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, Kanisius, Yogyakarta, 1997, hal:61 123 Bdk. Dagobert D. Runes and 72 Authorities, Dictionary Of Philosophy: Ancient-Medieval-Modern, Littlefield, Adams and Co., United States Of America, 1959, hal:75 124 Bdk. Vernon J. Bourke, History Of Ethic: Grace-Roman To Early Modern Ethics, Vol.1, A. Division of Doubleday and Company, Inc., Garden City, Yew York, 1968, hal:56 dideterminasikan oleh gerakan atom-atom.125 Dengan ajarannya itu kaum atomis mereduksir seluruh realitas menjadi unsur-unsur yang terdiri dari atom-atom.126 Konsep mereka tentang manusia juga didasarkan pada pandangannya tentang atom-atom. Antara lain Demokritos mengatakan bahwa jiwa manusia terdiri atas atomatom. 127 Konsekuensinya semua pengenalan pada manusia juga berlangsung berdasarkan atom-atom. Sistem pemikiran para atomis ini disebut materialisme karena mereka menyamakan realitas dengan unsur-unsur material yang mekanistis.128 Di Jerman aliran materialisme diajarkan oleh Feuerbach, Moleschott, Buchner, dan Haeckel. Menurut mereka alam semesta ini terdiri dari atom-atom yang dikuasai oleh hukum-hukum fisis-kimiawi. Kemungkinan tertinggi atom-atom itu adalah membentuk manusia.129 Kesadaran dan jiwa yang ada dalam diri manusia itu pada dasarnya hanya sebuah sistem kerja dari otak. Karena itu manusia, sebagaimana juga dunia, tetap merupakan suatu yang bersifat material. Kemungkinan-kemungkinan manusia untuk bertindak tidak melebihi kemungkinan kombinasi-kombinasi atom. Dan karena itu tindakan manusia juga tidak pernah melampaui potensi-potensi jasmani.130 Dengan menyatakan bahwa segala sesuatu, termasuk manusia, ditentukan oleh hukum-hukum material, aliran ini beranggapan bahwa sebenarnya manusia tidak memiliki kebebasan.131 125 Bdk. P. Huby, Greek Ethic, St. Martin?s Press, Inc., Yew York, 1967, hal:14 126 Bdk. Eduard Zeller, Outlines Of The History Of Greek Philosophy, thirteenth edition, Meridian Book, Yew York, 1957, hal:82 127 Bdk. P. Huby, Op.Cit., hal:14 128 Bdk. Dr. K. Bertens, Op.Cit., hal:65 129 Bdk. DR. P.A. van der Weij, Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia, Gramedia, Jakarta, 1988, Hal:108 130 Bdk. DR. P.A. van der Weij, Op.Cit., hal:108 131 Bdk. Ed. L. Miller, Op.Cit., hal:153 3.2.2. Thomas Hobbes Thomas Hobbes dikenal sebagai tokoh materialisme modern. Tentang materialisme Hobbes mengatakan dua hal. Yang pertama adalah bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini bersifat material (korporeisme). Yang kedua adalah bahwa segala kejadian di dunia ini merupakan gerak yang terjadi karena keharusan (mekanisisme).132 Gagasan tentang alam semesta itu juga diterapkan pada manusia. Manusia pada dasarnya hanyalah sebuah bagian dari sistem material yang ada di dunia. Konsekuensinya manusia tidak bisa melepaskan diri dari determinisme alamiah. Kebebasan manusia merupakan ilusi belaka.133 Selain itu, hidup manusia adalah gerak anggota-anggota tubuhnya yang pada dasarnya disebabkan oleh pengaruh mekanistis hawa atmosfir.134 Bila realitas manusia ditentukan oleh dunia material dan gerak, maka tidak ada tempat lagi bagi kebebasan. Di dalam mekanisisme Hobbes tidak ada kemungkinan lain bagi manusia untuk tidak bereaksi dengan gerak itu.135 3.2.3. La Mettrie Pandangan La Mettrie tentang materialisme terlihat secara jelas dalam dua bukunya, yaitu ?L?homme Machine? (manusia mesin) dan ?L?homme Plante? (manusia tumbuhan).136 Melalui bukunya yang berjudul ?L?homme Machine? (manusia mesin), La Mettrie hendak menggambarkan hakekat manusia yang seperti mesin. Mesin merupakan sesuatu yang direncanakan dan distrukturkan untuk 132 Bdk. Dr. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Kanisius, Yogyakarta, 1980, hal:33 133 Bdk. Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999, hal:204 134 Bdk. Dr. Harun Hadiwijono, Op.Cit., hal:33 135 Bdk. Silvano Ponticelli, CM, Sejarah Filsafat Renaisan, Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana, Malang, 1996, hal:66 136 Bdk. DR. P.A. van der Weij, Op.Cit., hal:108 melakukan suatu pekerjaan.137 Mesin dibuat dengan tujuan tertentu. Mesin mempunyai pola-pola fungsional yang ditentukan oleh pembuatnya. Mesin sama sekali tidak mempunyai kebebasan, karena semua yang ada di dalamnya telah disusun dan dirangkai sedemikian rupa sehingga dapat bekerja sesuai dengan keinginan pembuatnya. Begitu juga di dalam diri manusia tidak ada kebebasan. Alasannya adalah karena manusia merupakan bagian dari dunia. Padahal dunia dalam pandangan materialisme adalah dunia yang dikuasai oleh hukum-hukum material. Sebagai bagian dari dunia, manusia dikuasai oleh dunia. Maka manusia dikuasai oleh hukum-hukum material. Dalam hal ini manusia tidak memiliki pilihan lain kecuali tunduk dan menyerahkan diri pada hukum yang telah menentukannya itu. 3.3. Determinisme Biologis Determinisme biologis berpretensi bahwa hidup manusia telah diprogram sebelumnya oleh faktor-faktor hereditas (gen-gen). Gagasan pokok determinisme ini didasarkan pada pengalaman universal bahwa secara psikologis manusia tergantung secara mutlak pada keadaan biologis organismenya.138 Dengan kata lain seluruh kegiatan psikis manusia itu secara mutlak ditentukan oleh keadaan aktual organismenya.139 Determinisme biologis dengan demikian memandang hidup manusia sebagai suatu sifat atau menifestasi organisme. Selanjutnya organisme merupakan suatu sistem kompleks dan terorganisir yang mampu memperbanyak dirinya berdasar organisme terdahulu.140 Sifat dan perilaku manusia ditentukan oleh unsur DNA.141 137 Bdk. The Catholic Encyclopedia For school and Home, Op.Cit., hal:474 138 Bdk. Robert Maynard Hutchins, Charles Darwin: The Origin Of Species, Encyclopaedia Britannica, Inc., Chicago, 1990, hal:9 139 Bdk. Louis Leahy, Op.Cit., hal:137 140 Bdk. DR. Soelaksono Sastrodihardjo, Konsep Manusia Dalam Biologi, dalam ?Mencari Konsep Manusia Indonesia: Sebuah Bunga Rampai?, Erlangga, Jakarta, 1986, hal:19 141 Bdk. Frank N. Magill, Survey Of Social Science: Psychology, Vol.3, 3.3.1. Charles Darwin Menurut Darwin manusia tunduk pada hukum alam.142 Manusia adalah organisme yang telah mencapai tingkat perkembangan tertinggi. Dikatakan begitu karena manusia adalah organisme yang mampu beradaptasi dan mempunyai peradaban serta kebudayaan. Manusia mempunyai sifat yang dinamis dan sifat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya. Manusia yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan pasti akan musnah.143 Karena itu perilaku manusia pada dasarnya merupakan bentuk respons terhadap lingkungan yang mempunyai nilai survival. Dalam arti ini manusia tunduk pada alam. Konsekuensinya manusia sama sekali tidak mempunyai kebebasan untuk menentukan sendiri hidupnya. Darwin juga mengatakan bahwa hidup organisme, termasuk manusia, diatur oleh faktor-faktor genetis (gengen). 144 3.3.2. James Watson James Watson bersama sejumlah ahli-ahli molekuler mereduksikan pengertian hidup manusia ke dalam tingkat organisasi makromolekul. Dan dia berpendapat bahwa organisasi makromolekuler itu merupakan pola dasar bagi semua organisme yang hidup di dunia. Manusia sebagai salah satu bentuk organisme yang hidup juga terdiri dari segala macam makromolekuler. Proses hidup pada sel diatur oleh DNA yang sekaligus menentukan sifat dan perilaku manusia.145 Salem Press, Inc., United States Of America, 1993, hal:1192-1195 142 Bdk. DR. Soelaksono Sastrodihardjo, Op.Cit., hal:21 143 Bdk. DR. Franz Dahler, Asal Dan Tudjuan Manusia (Teori Evolusi), Kanisius, Yogyakarta, 1971, Hal:21 144 Bdk. Y. Silabakti, Konsep Tentang Manusia Dalam Biologi, dalam ? Mencari Konsep Manusia Indonesia: Sebuah Bunga Rampai?, Erlangga, Jakarta, 1986, hal:19 145 Bdk. DR. Soelaksono Sastrodihardjo, Op.Cit., hal:23 3.4. Determinisme Sosiologis Determinisme sosiologis mengatakan bahwa manusia begitu ditentukan oleh faktor-faktor sosial.146 Manusia adalah hasil hubungan-hubungan sosial. Manusia tidak memiliki kebebasan karena tindakan-tindakan dan keputusan-keputusannya selalu ditentukan oleh lingkungan sosialnya.147 Dengan demikian manusia selalu dilihat dalam kerangka jaringan struktur lingkungan sosialnya.148 Tindakan manusia bukanlah sesuatu yang spontan, melainkan sebagai hasil perhitungan dengan struktur sosialnya.149 3.4.1. Auguste Comte Auguste Comte mengambil alih gagasan Aristoteles yang melihat masyarakat sebagai suatu ?orde?.150 Orde adalah susunan yang tetap dan tertib. Orde dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa manusia saling membutuhkan dan saling melengkapi. Dengan kata lain orde didasarkan pada sifat sosial manusia. Manusia adalah Zoon Politicon. Namun demikian menurut Comte, susunan masyarakat yang tetap dan tertib itu bukanlah masyarakat yang statis. Comte berpendapat bahwa masyarakat bersifat dinamis.151 Masyarakat bersifat dinamis karena kehidupan manusia berada dibawah 146 Bdk. Kingsley Davis, Human Society, The Macmillan Company, New York, 1969, hal:52 147 Bdk. Louis Leahy, Op.Cit., hal:138 148 Bdk. Peter Worsley, dkk, Introducing Sociology, Penguin Book Ltd, England, 1970, hal:356 149 Bdk. Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH., Gambaran Tentang Manusia Dari Sudut Sosiologi, dalam ?Mencari Konsep Manusia Indonesia: Sebuah Bunga Rampai?, Erlangga, Jakarta, 1986, hal:64 150 Bdk. K.J. Veeger, Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan Individu-Masyarakat Dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993, hal:19 151 Bdk. K.J. Veeger, Op.Cit., hal:19 kuasa hukum evolusi.152 Hukum evolusi mengandaikan perubahan yang terus-menerus. Hukum evolusi tidak bisa dibelokkan oleh manusia. Maka manusia harus ikut saja dan harus mengadaptasikan diri. Kalau tidak, manusia akan digilas oleh roda sejarah.153 Dalam arti itulah manusia tidak memiliki kebebasan. Dan memang menurut Comte kebebasan individu justru harus ditolak. Comte melihat manusia sebagai makhluk nonrasional. Maka kebebasan individu justru akan menimbulkan bahaya bagi keutuhan masyarakat itu sendiri. Kebebasan manusia dalam masyarakat sama absurd-nya dengan kebebasan manusia dalam dunia matematika. Dalam dunia matematika manusia tidak punya pilihan lain kecuali harus menerima bahwa dua ditambah dua adalah empat.154 Demikian juga dalam masyarakat manusia tidak punya pilihan lain kecuali harus menerima keputusan golongan tertinggi dalam masyarakat. 3.4.2. David Emile Durkheim Durkheim melihat masyarakat atau realitas sosial sebagai wadah paling sempurna bagi kehidupan manusia.155 Masyarakat berada di atas segala-galanya.156 Masyarakat sangat menentukan perkembangan individu-individu yang hidup di 152 Hukum evolusi yang dimaksud oleh Comte terjadi melalui tiga tahap, yaitu tahap teologis, tahap metafisis, dan tahap positif-ilmiah. Di sebut tahap teologis karena manusia dalam tahap ini masih memerlukan dewa-dewa untuk menerangkan realitas hidupnya. Dalam tahap metafisis manusia mulai memakai prinsip-prinsip abstrak-metafisis untuk merenangkan kenyataan. Dan dalam tahap positif-ilmiah manusia sudah menggunakan metode positif-ilmiah dalam menerangkan kenyataan. (Bdk. DR. Harry Hamersma, Pintu Masuk Ke Dunia Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1981, hal:41 dan Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi: Klasik dan Modern, jilid 1, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994, hal:84-86) 153 Bdk. K.J. Veeger, Op.Cit., hal:19 154 Bdk. Dr. Loekman Soetrisno, Konsep Tentang Manusia Dalam Sosiologi, dalam ?Mencari Konsep Manusia Indonesia: Sebuah Bunga Rampai?, Erlangga, Jakarta, 1986, hal:57-58 155 Bdk. Taufik Abdullah dan A.C. Van Der Leeden, Durkheim Dan Pengantar Sosiologi Moralitas, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hal:16 156 Bdk. Johaness Messner, Social Ethics: Natural Law In The Western World, B. Herder Book, Inc., St. Louis and London, 1965, hal:4 dalamnya. Kehendak, agama, kategori pikir, bahkan realitas jiwa yang paling dalam pun bersifat sosial.157 Masyarakat atau kenyataan sosial mempunyai kemampuan menguasai segala kehidupan, termasuk individu-individu, dengan tekanan eksternal. Hal itu terjadi ketika norma-norma dan nilai-nilai sosial diterapkan, atau bahkan dipaksakan pada individu-individu.158 Dalam arti inilah manusia tidak memiliki kebebasan. 3.4.3. Talcolt Parsons Sama dengan Comte, Parsons juga melihat manusia sebagai makhluk nonrasional. Menurut Parsons manusia memiliki kebebasan untuk memperjuangkan apa yang mereka inginkan, akan tetapi manusia tidak mempunyai kebebasan memperoleh apa yang mereka perjuangkan. Manusia memiliki kebebasan untuk memperjuangkan suatu perubahan, akan tetapi ia tidak memiliki kebebasan untuk menentukan jenis perubahan yang mereka inginkan.159 Jadi jelas sekali bahwa dalam kaca mata Parsons, manusia tidak memiliki kebebasan ?menentukan? dirinya sendiri. Kebebasan manusia adalah kebebasan yang ?ditentukan? oleh golongan tertinggi dalam masyarakat.160 Parsons berpikir seperti itu karena dia melihat bahwa manusia bersifat non-rasional. Manusia dapat diibaratkan dengan benda yang kosong. Dan adalah tugas masyarakat untuk mengisinya dengan norma-norma dan nilai-nilai. Norma-norma dan nilai-nilai itu akan membuat hidup manusia menjadi lebih manusiawi. Dengan demikian hidup manusia adalah hidup yang ditentukan oleh norma dan nilai yang ditentukan oleh 157 Bdk. Djuretna A. Imam Muhni, Moral Dan Religi: Menurut Emile Durkheim dan Henri Bergson, Kanisius, Yogyakarta, 1994, hal:28 158 Bdk. DR. W.A. Gerungan Dipl. Psych, Psikologi Sosial, PT. Eresco, Bandung, 1991, hal:36 159 Bdk. Dr. Loekman Soetrisno, Op.Cit., hal. 58 160 Bdk. Ian Craib, Teori-Teori Sosial Modern: Dari Parsons Sampai Habermas, CV. Rajawali, Jakarta, 1986, hal:61 masyarakat.161 3.5. Determinisme Teologis Determinisme teologis menyatakan bahwa hidup manusia telah ditentukan oleh Tuhan.162 Allah adalah Kebaikan sempurna. Ia Maha-mengetahui dan Maha-kuasa. Ia berada di atas segala sesuatu dan menguasai segala sesuatu. Berdasarkan keyakinan ini kaum determinis teologis menyusun dua tesis. Tesis pertama adalah bahwa Tuhan telah meramalkan semua yang akan dilakukan oleh manusia. Apa yang telah diketahui oleh Tuhan sebelumnya secara mutlak harus direalisasikan. Jadi semua yang akan kita lakukan telah ditentukan dan diputuskan terlebih dahulu oleh Tuhan. Karena itu manusia tidak memiliki kebebasan. Manusia tidak mempunyai kemungkinan lain selain tunduk pada kehendak Allah.163 Tesis kedua yang dijadikan dasar determinisme teologis adalah bahwa seandainya manusia bebas maka ia pasti tidak tergantung pada Tuhan. Seandainya manusia bebas maka ia pasti tidak membutuhkan Tuhan. Karena itu Tuhan tidak perlu ada.164 Kenyataannya manusia tergantung pada Tuhan. Maka manusia tidak bebas. 3.5.1. Spinoza Spinoza mengatakan bahwa ?Yang Tak Berhingga? (Tuhan dan Alam) merupakan yang satu dan merupakan segala-galanya. Sedangkan yang disebut ? berhingga? (gejala-gejala dan benda-benda di dunia) itu hanya bisa berada dan hanya 161 Bdk. Prof. DR. Soerjono Soekanto, S.H., M.A., dan Ratih Lestarini, S.H., Fungsionalisme Dan Teori Konflik Dalam Perkembangan Sosiologi, Sinar Grafika, Jakarta, 1988, hal:38 162 Bdk. Louis Leahy, Op.Cit., hal:139-140 163 Bdk. St. Pinanggiyo, Tanggung Jawab Dan Kebebasan Manusia Dalam Perspektif Islam-Kristen, Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana, Malang, 1994, hal:26 164 Bdk. Louis Leahy, Op.Cit., hal:139-140 bisa dipikirkan berkat keberadaan Yang Tak Berhingga.165 Spinoza kemudian membuat pembedaan di dalam Alam dan Allah. Dia menggunakan istilah ?Natura naturans? dan ?Natura naturata?. Natura naturans adalah Allah ?atau?166 Alam sebagai asalusul atau pencipta yang asali. Sedangkan natura naturata adalah Allah atau Alam yang kelihatan.167 Dalam konteks pemahaman itu, manusia dimengerti sebagai cara berada ?dari? Yang Tak Berhingga. Dan tugas manusia adalah berusaha melihat dengan mata rasionya bahwa segala sesuatu di dunia ini merupakan manifestasi dari Tuhan. Dengan demikian manusia tidak mempunyai kemungkinan lain untuk bertindak selain ?harus? melihat semua pengalaman dan segala sesuatu yang ada di dunia ini sebagai substansi yang satu, yaitu Tuhan. 3.5.2. Leibniz Menurut Leibniz dunia ini terdiri dari banyak substansi. Substansi-substansi itu disebut ?monade?.168 Monade-monade itu tidak bersifat jasmani dan tidak dapat dibagi-bagi. Monade bersifat tertutup. Suatu monade tidak dapat mempengaruhi monade lain. Namun demikian suatu monade dapat mengenal realitas di luar dirinya, karena setiap monade mencerminkan semua monade yang lain.169 Monade menurut kodratnya bersifat aktif. Monade memiliki dua aktivitas, yaitu mengenal dan menghendaki. 170 Ajaran Leibniz tentang monade itu juga diterapkan pada manusia. 165 Bdk. DR. P.A. van der Weij, Op.Cit., hal:75-76 166 Kami menggunakan kata sambung ?atau? karena Spinoza rupanya menyebut sejajar antara Allah dan Alam. Keduanya disebut dengan sebutan yang sama, yaitu ?Yang Tak Berhingga?. 167 Bdk. DR. P.A. van der Weij, Op.Cit., hal:77 168 Bdk. Frederick Mayer, A History Of Modern Philosophy, American Book Company, United States Of America, 1951, hal:159 169 Bdk. DR. K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1995, hal:48 170 Bdk. DR. K. Bertens, Op.Cit., hal:49 Menurutnya jiwa manusia merupakan suatu monade, sedangkan tubuh manusia terdiri atas banyak monade. Dalam hal ini jiwa dapat menjalin hubungan dengan tubuh karena ada prinsip harmoni yang mengaturnya. Prinsip itu adalah Allah. Allah adalah ?preestablished harmony? antara monade-monade.171 Leibniz menjelaskan konsep preestablished harmony ini dengan dua arloji yang menunjukkan waktu yang persis sama. Bagimana hal itu bisa terjadi? Bukan karena yang satu mempengaruhi yang lain, tetapi karena ada seorang tukang yang telah mencocokkan dua arloji itu. Demikian juga dengan semua hal yang ada di dunia ini. Pada saat penciptaan semua monade diatur sedemikian rupa oleh Allah sehingga terdapat keselarasan antara semua monade.172 Dengan ajaran tentang monade, Leibniz berkeyakinan bahwa semua peristiwa di dunia ini telah diatur oleh Allah. Karena manusia termasuk bagian dari dunia, maka seluruh hidup manusia pada hakekatnya sudah diatur sedemikian rupa oleh Allah pada saat penciptaan. Dalam arti ini manusia tidak memiliki kebebasan untuk menentukan sendiri hidupnya. 3.5.2. Agustinus Dalam pemikiran Agustinus, Allah adalah kebaikan tertinggi. Tak ada yang baik kecuali karena kaitannya dengan Allah. Apapun yang baik mendapat kebaikannya dari Allah. Apapun yang bernilai, bernilai karena berpartisipasi dalam Allah. Allah adalah prinsip terakhir segala kebaikan moral.173 Dan dalam kaitannya dengan manusia, Agustinus mengatakan bahwa hakekat manusia senantiasa ?sudah? terarah kepada Allah. Manusia adalah ciptaan Allah.174 Dan Allah adalah rahasia hakekat manusia. Karena itu manusia secara batin senantiasa terikat pada Allah. Allah adalah sumber 171 Bdk. Frederick Mayer, Op.Cit., hal:159 172 Bdk. DR. K. Bertens, Op.Cit., hal:49 173 Bdk. Franz Magnis-Suseno, 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19, Kanisius, Yogyakarta, 1997, hal:67 174 Bdk. FX. Mudji Sutrisno dan F. Budi Hardiman (ed), Para Filsuf Penentu Gerak Jaman, Kanisius, Yogyakarta, 1992, hal:34 eksistensi manusia. Agustinus sebenarnya menekankan dimensi kehendak dalam diri manusia.175 Artinya bahwa Agustinus juga mengakui adanya kebebasan manusia untuk memilih antara yang baik dan yang buruk. Namun pengakuan dimensi kebebasan itu dalam arti tertentu tidak ada artinya. Mengapa? Karena, seperti Louis Leahy sendiri katakan, manusia senantiasa mengarahkan semua tindakannya kepada kebaikan. Walaupun manusia itu secara obyektif (dilihat dari sudut pandanag moral) melakukan kejahatan, namun paling tidak kejahatannya itu dalam arti tertentu (secara subyektif) merupakan suatu kebaikan. Dalam pengertian ini secara hakiki manusia telah dideterminasikan untuk senantiasa mengarahkan tindakan-tindakannya kepada kebaikan. Dan Kebaikan tertinggi dalam konsep Agustinus adalah Tuhan. 3.6. Determinisme Ketidaksadaran Determinisme ketidaksadaran berpendapat bahwa tindakan-tindakan manusia merupakan akibat dari kecenderungan-kecenderungan instingtif yang tidak disadari.176 Motif-motif yang sadar merupakan suatu penipuan. Motif-motif sadar itu sebenarnya hanyalah bentuk semu kebebasan manusia.177 Manusia dikuasai oleh struktur-struktur ketidaksadaran,178 tetapi manusia sendiri tidak menguasai struktur ini.179 3.6.1. Sigmund Freud 175 Bdk. Robert Paul Mohan, Philosophy Of History: An Introduction, The Bruce Publishing Company, United States Of America, 1970, hal:35-36 176 Bdk. Ronie, Manusia Dan Tujuan Hidup: Menurut Teologi Pembebasan, Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana, Malang, 1993, hal:67 177 Bdk. Louis Leahy, Op.Cit., hal:141 178 Bdk. K. Bertens, Sigmund Freud: Memperkenalkan Psikoanalisa, Gramedia, Jakarta, 1984, hal:xii 179 Bdk. K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX, Gramedia, Jakarta, 1985, hal:402 Dengan menemukan aspek ketidaksadaran dalam diri manusia, Freud membuka dimensi baru pemahaman tentang manusia.180 Freud percaya bahwa alam semesta dikuasai oleh hukum-hukum alam yang sifatnya Universal. Konsekuensinya manusia, sebagai bagian dari alam, juga dikuasi dan harus tunduk pada hukum-hukum itu.181 Di dalam alam semesta ini tidak ada sesuatu pun yang terjadi secara spontan dan kebetulan. Menurut Freud kebebasan manusia pada dasarnya hanyalah sebuah ilusi. Mengapa? Karena keterikatakan pada hukum-hukum alam semesta itu mencakup segala-galanya. Dengan kata lain segala sesuatu yang ada di dalam alam semesta ini telah dideterminir oleh hukum-hukum alam. Semua peristiwa dan segala sesuatu yang ada di dunia ini mempunyai penyebab,182 walaupun sifatnya tak sadar.183 Pandangan bahwa segala sesuatu di dunia ini mempunyai penyebab dibuktikan oleh Freud dengan teorinya tentang hidup psikis. Menurut Freud psikis manusia terdiri atas tiga instansi, yaitu Id, Ego, dan Superego.184 Freud juga melihat manusia sebagai sistem energi yang kompleks. Dan Freud menamakan energi dalam hidup psikis manusia itu dengan ?energi psike?.185 Energi psikis ini dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lain, tetapi tidak dapat hilang. Energi psikis ini diarahkan pada tujuan-tujuan tertentu dan sering kali tanpa disadari. Jembatan antara energi psikis dan 180 Bdk. John A. Hutchison, Living Options In World Philosophy, The University Press Of Hawaii And The Research Corporation Of The University Of Hawaii, Honolulu, 1977, hal:95 181 Bdk. K. Bertens, Panorama Filsafat Modern, Gramedia, Jakarta, 1987, hal:46 182 Bdk. William Hasker, Metaphysics: Constructing A World View, Downers Grove, Illionis: Intervarsity Press, 1983, hal:32 183 Bdk. K. Bertens, Panorama Filsafat Modern, Op. Cit., hal:46 184 Bdk. John W.M. Verhaar, SJ, Identitas Manusia: Menurut Psikologi Dan Psikiatri Abad Ke-20, Kanisius (Yogyakarta) dan Gunung Mulia (Jakarta), 1989, hal:18 185 Bdk. Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey, Theories Of Personality, third edition, John Wiley & Sons, Inc., Canada, 1978, hal:36 kepribadian adalah Id dengan insting-instingnya. Insting merupakan sumber perangsang bagi tindakan manusia.186 Dalam konteks ini Freud mengatakan bahwa tindakan manusia juga dapat dirangsang oleh pangaruh dari luar dirinya. Namun pengaruh atau perangsang dari luar itu pada umumnya sangat sedikit pengaruhnya bila dibanding pengaruh dari dalam dirinya. Orang dapat menghindarkan pengaruh dari luar, akan tetapi ia tidak bisa menghindarkan diri dari perangsang dari dalam (instinginsting). 187 Jadi dalam pemikiran Freud dorongan-dorongan dari insting-insting ini diartikan sebagai penyebab semua perbuatan manusia.188 Freud memberikan contoh lain yang memperlihatkan bahwa perbuatan manusia selalu mempunyai penyebab berdasarkan kejadian-kejadian remeh sehari-hari. Misalnya orang melupakan nama atau peristiwa, orang yang salah ucap, orang yang salah tulis dan lain sebagainya. Menurut Freud kejadian-kejadian remeh itu ternyata bukan merupakan kejadian yang terjadi secara kebetulan. Sebaliknya semua kejadian itu mempunyai alasan, walaupun alasan itu tidak disadari.189 Mengapa orang lupa mengirim surat? Hal itu tidak terjadi secara kebetulan, akan tetapi karena isi surat itu tidak sesuai dengan hatinya. Dan Karena itu ia tidak ingin mengirimkannya. Berdasarkan pemikiran di atas akhirnya Freud mengambil kesimpulan bahwa hidup psikis manusia terbukti dideterminir seluruhnya. Hal itu terlihat bahwa semua perbuatan manusia tidak terjadi secara kebetulan, melainkan selalu mempunyai alasan,190 walaupun alasan itu tidak disadari. 186 DR. Rudolf Metz, A Hundred Years Of British Philosophy,The Macmillan Company, New York, 1950, hal:769 187 Bdk. Sumadi Suryabrata, Psikologi Kepribadian, Rajawali Pers, Jakarta, 1990, hal:150 188 Bdk. Robert Maynard Hutchins, (ed), The Major Works Of Sigmund Freud: Great Book Of The Western World, Encyclopaedia Britannica, Inc., Chicago, 1990, hal:428 189 Bdk. K. Bertens, Panorama Filsafat Modern, Op. Cit., hal:48 190 Bdk. John Hospers, An Introduction To Philosophical Analysis, second edition, Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, 1967, hal:317 3.7. Kesimpulan Aliran determinisme, apapun bentuk dan istilahnya, pada dasarnya berpijak pada garis pemikiran yang sama, yaitu bahwa segala sesuatu di dunia ini ditentukan oleh hukum sebab akibat.191 Konsekuensi logis dari pemikiran itu adalah bahwa di dunia ini tidak ada kebebasan. Perbedaan di antara pelbagai bentuk aliran determinisme itu terletak pada aspek sudut pandang dan tekanan yang berbeda dalam melihat ?jenis ? faktor-faktor determinan. Misalnya determinisme biologis mengatakan bahwa manusia tidak memiliki kebebasan karena hidup manusia tergantung pada faktor-faktor genetis. Sedangkan determinisme teologis berpendapat bahwa manusia tidak bebas karena seluruh hidupnya telah ditentukan oleh Tuhan dan seluruh hidup manusia tergantung pada Tuhan, dan lain sebagainya. 191 Bdk. Antony Harrison-Barbet, Op.Cit., hal:326 BAB IV SOLUSI LOUIS LEAHY ATAS PAHAM DETERMINISME Pengantar Dalam bab II kami telah menguraikan pandangan Louis Leahy tentang kebebasan manusia. Gagasan dasar yang muncul dalam pemikiran Louis Leahy tentang kebebasan adalah ?pengakuan? bahwa manusia itu bebas. Kemudian dalam bab III kami mencoba mengemukakan pemikiran aliran determinisme yang menyangkal adanya kebebasan. Kedua bab tersebut bertujuan memperlihatkan adanya dua paham kebebasan yang saling bertolak-belakang. Berdasarkan realitas itu, pada bab IV ini, kami mencoba menggali sikap-sikap Louis Leahy atas paham determinisme yang menyangkal ide kebebasan manusia. 4.1. Louis Leahy Dan Determinisme Universal Determinisme naturalis berpendapat bahwa manusia tidak memiliki kebebasan. Dasar pendapat itu adalah realitas bahwa manusia hidup di dalam dunia yang dikuasai oleh hukum-hukum alam semesta. Hukum-hukum itu merupakan rangkaian hukum sebab akibat. Hukum sebab akibat berarti bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini terjadi secara kausal.192 Atau dapat juga dikatakan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini harus mempunyai sebab. Konsekuensinya adalah segala sesuatu itu tidak ada seandainya tidak ada sebab-sebab yang mendahuluinya.193 Manusia merupakan bagian dari dunia. Karena itu manusia juga tidak bisa menghindarkan dirinya dari hukum sebab akibat itu. Dalam arti inilah determinisme naturalis mengartikan bahwa manusia tidak memiliki kebebasan. Jadi gagasan dasar yang diterapkan oleh aliran determinisme naturalis untuk menyangkal kebebasan manusia bukanlah apakah sebab-sebab fisik 192 Bdk.Harold H. Titus, Living Issues In Philosophy: An Introductory Textbook, third edition, American Book Company, New York, 1959, hal:131 193 Bdk. Y.I. Iswarahadi, Kebebasan Sebagai Segi Filosofis Dalam Pendidikan, dalam ?Basis?, Juni, XXXVII, no.6, 1988, hal:202 atau hukum sebab akibat itu ada atau tidak. Dalam pandangan para determinis naturalis persoalan-persoalan itu justru tidak mendapat tempat yang cukup berarti. Mengapa? Karena dalam pandangan mereka sudah diandaikan bahwa hukum sebab akibat itu sudah ada. Dan yang lebih ekstim lagi hukum sebab akibat itu telah menguasai manusia sehingga manusia sama sekali tidak bebas untuk menentukan dirinya sendiri. Dengan kata lain manusia, karena hukum sebab akibat itu, tidak lagi mempunyai kemampuan otodeterminasi.194 Bukti bahwa di dunia ini ada hukum sebab akibat adalah adanya peristiwa-peristiwa. Aliran determinisme naturalis berpendapat demikian karena menurut mereka tidak ada sesuatupun di dunia ini yang terjadi tanpa sebab-sebab yang mendahuluinya.195 Titik pangkal pendapat aliran determinisme untuk menyangkal kebebasan manusia adalah realitas bahwa manusia tidak bisa ?luput? dari hukum sebab akibat itu. Postulat dasar yang mereka kedepankan adalah ?jika manusia memang bebas, dalam arti otodeterminasi atau menentukan dirinya sendiri, maka ia luput dari determinasi dunia fisik.196 Padahal manusia tidak bisa lepas dari determinasi dunia fisik itu, maka manusia tidak bebas.?Jadi dalam pandangan determinisme naturalis manusia akan dikatakan bebas jika ia, di tengah dunia yang dikuasai oleh hukum sebab akibat ini, dapat melepaskan diri dari hukum sebab akibat itu. Artinya manusia itu bebas, jika ia mempunyai kemampuan otodeterminasi di tengah-tengah hukum sebab akibat yang mengitarinya. Atau dapat juga dikatakan bahwa manusia dikatakan bebas jika ia mampu menguasai hukum-hukum alam semesta ini. Manusia itu bebas jika ia tidak terseret oleh hukum alam semesta ini. Bagaimanakah sikap Louis Leahy terhadap pemikiran determinisme ini? 4.1.1. Kebebasan Terjadi Pada Tingkat Alasan-alasan Dan Bukan Pada Tingkat 194 Bdk. Dr. Nico Syukur Dister OFM, Op.Cit., hal.124 195 Bdk.Harold H. Titus, Op.Cit., hal:131 196 Bdk. Dr. Nico Syukur Dister OFM, Op.Cit., hal.124 Sebab Akibat Louis Leahy menolak kebenaran pandangan determinisme universal. Alasannya adalah karena determinisme universal menempatkan masalah kebebasan manusia secara salah. Di mana letak kesalahan itu? Aliran determinisme universal mengartikan kebebasan manusia sebagai yang menuntut pelanggaran terhadap hukumhukum alam semesta. Padahal kebebasan manusia pada dasarnya tidak terletak dalam dimensi sebab-sebab fisik, melainkan terletak dalam tingkat motif-motif tindakan manusia.197 Dan hal itu terjadi tanpa harus melanggar prinsip kausalitas universal. Dengan berpendapatnya itu Leahy hendak mengatakan bahwa dia tetap mengakui adanya sebab-sebab fisik yang mengitari tindakan-tindakan manusia. Atau dengan kata lain dia tetap mengakui adanya hukum sebab akibat. Jadi yang ditolak oleh Louis Leahy bukanlah adanya hukum sebab akibat itu sendiri, melainkan Louis Leahy menolak pendapat bahwa adanya hukum sebab akibat itu merupakan bukti bahwa manusia tidak memiliki kebebasan. 4.1.2. Manusia Mempunyai Kemampuan Mengorganisir Hukum Sebab Akibat Titik tolak argumen penyangkalan Louis Leahy terhadap determinisme universal di atas adalah pengalaman bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mengorganisir dan menguasai sebab-sebab. Karena kemampuan itulah, maka sebabsebab itu juga akan menghasilkan akibat-akibat sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh manusia. Organisasi sebab-sebab itu sendiri juga sangat tergantung pada tujuantujuan yang ingin kita capai dan sarana-sarana yang akan kita gunakan. Contohnya kita ?menyodok? sebuah bola bilyar, dan bola itu menyentuh bola yang lain, yang seterusnya menyentuh bola-bola yang lain lagi. Di sini kita dapat menerima bahwa sentuhan-sentuhan bola bilyar yang kita sodok itu merupakan peragaan hukum sebab akibat. Dalam hal ini berarti hukum sebab akibat itu menguasai bola-bola bilyar yang kita sodok. Akan tetapi, secara bebas, kitalah yang mengorientasikan atau mengatur bola-bola bilyar itu ke arah hasil semacam ini atau itu. Dengan kata lain kitalah yang 197 Bdk. Louis Leahy, Op.Cit., hal:136 menentukan terjadinya hukum sebab itu menurut motif-motif atau alasan-alasan dan tujuan-tujuan yang ingin kita capai.198 Jadi dapat disimpulkan bahwa dalam lingkup hukum sebab akibat, manusia tetap mempunyai kebebasan. 4.2. Louis Leahy Dan Determinisme Biologis Menurut determinisme biologis hidup manusia telah diprogram sebelumnya oleh faktor-faktor hereditas.199 Karena itu pada dasarnya manusia tidak memiliki kebebasan. Dasar pemahaman ini adalah pengalaman bahwa secara psikologis manusia tergantung secara mutlak pada keadaan biologis organismenya. 4.2.1. Determinisme Biologis Hanya Merupakan Hipotesa Yang Tidak Diverifikasikan Kebenarannya Louis Leahy mengakui argumen yang mengatakan bahwa ativitas roh dan kehendak manusia tergantung pada organisme.200 Akan tetapi Leahy menolak bahwa sifat tergantung itu merupakan sesuatu yang absolut. Mengapa? Karena dalam aktivitas kehidupannya, manusia ternyata mempunyai kemampuan untuk menahan diri, untuk menyesuaikan diri,201 untuk mengontrol proses-proses organik, dan lain sebagainya. Manusia adalah makhluk yang mempunyai peradaban dan kebudayaan.202 Berkat kedua unsur ini manusia telah mampu melepaskan diri dari seleksi alamiah. Atau lebih tegas lagi dapat dikatakan bahwa berkat kedua unsur tersebut manusia 198 Bdk. Prof. Dr. Louis Leahy S.J., Manusia Di Hadapan Allah 1: Masalah Ketuhanan Dewasa Ini, Yayasan Kanisius (Yogyakarta) dan BPK Gunung Mulia (Jakarta), 1984, hal:133-134 199 Bdk. Koentjaraningkrat, Sejarah Teori Antropologi, jilid I, Penerbit Universitas Indonesia, tanpa kota penerbit, 1982, hal:26 200 Bdk. Louis Leahy, Op.Cit., hal:137 201 Bdk. Koentjaraningkrat, pengantar Antropologi, Universitas Indonesia, Jakarta, 1974, hal:55 202 Bdk. Clifford Greertz, Tafsir Kebudayaan, Kanisius, Yogyakarta, 1992, hal:65 mempunyai kemampuan untuk menjadi makhluk yang dapat berdiri sendiri.203 Karena itu Leahy berpendapat bahwa pada dasarnya determinisme biologis hanyalah merupakan suatu hipotesa yang belum terbukti kebenarannya, bahkan dapat dikatakan bahwa determinisme biologis bertentangan dengan pengalaman manusia sendiri. Sebagai makhluk yang berdiri sendiri atau sebagai makhluk yang mempunyai kemampuan melepaskan diri dari seleksi alamiah, manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri. 4.2.2. Evolusi Mengandaikan Kesadaran Para ahli biologi dalam memandang hakekat manusia cenderung menitikberatkan pendapatnya pada segi jasmani manusia dan pada segi perkembangannya. Misalnya Darwin sebagai salah seorang tokoh dalam disiplin ilmu biologi ini menitikberatkan pendapatnya tentang manusia pada segi perkembangan manusia secara evolutif. Perkembangan secara evolutif itu menyangkut tidak hanya bentuk dan kemampuan jasmani, melainkan juga menyangkut struktur dan ragam bagian dari jasmani manusia.204 Dengan pola pemikiran semacam itu akhirnya para ahli biologi memandang hakekat manusia sebagai mahkluk jasmani.205 Makhluk jasmani itu dalam pemikiran Darwin dimengerti hanya sebagai makhluk yang tunduk pada hukum alam semesta. Pemikiran ini didasarkan pada realitas bahwa manusia merupakan bagian dari alam semesta. Dan alam semesta merupakan lingkungan sebagai keseluruhan di mana manusia hidup. Alam semesta itu sendiri bukanlah sesuatu yang sudah jadi atau bukanlah sesuatu yang sempurna. Alam semesta merupakan suatu realitas yang bersifat dinamis, suatu proses yang terus 203 Bdk. DR. Soelaksono Sastrodihardjo, Konsep Tentang Manusia Dalam Biologi, dalam ?Mencari Konsep Manusia Indonesia: Sebuah Bunga Rampai? Erlangga, Jakarta, 1986, hal:26 204 Bdk.C.A. van Peursen, Orientasi Di Alam Filsafat, PT Gramedia, Jakarta, 1980, hal:212 205 Bdk. Prof. Dr. Kasmiran Wuryo Sanadji, MA, Filsafat Manusia, Erlangga, Jakarta, 1985, hal:30 menjadi. Alam semesta ini merupakan produk dari rangkaian peristiwa dan pengalaman hidup manusia. Dalam hubungan dengan ini manusia dilihat sebagai manusia secara utuh jika ia menyatukan diri dengan lingkungannya.206 Di sini ada semacam ? keharusan? bagi manusia untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya.207 Mengapa? Karena manusia yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya pasti akan musnah. Sebaliknya manusia yang mempunyai kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungannya akan bertahan hidup.208 Karena itulah Darwin mengambil kesimpulan bahwa perilaku manusia pada dasarnya merupakan bentuk respon terhadap lingkungan yang mempunyai nilai survival. Dalam arti ini perilaku manusia bukanlah bentuk ungkapan kebebasan.209 Louis Leahy menolak pandangan tersebut. Louis Leahy memang mengakui ide evolusi dan adaptasi dari manusia. Hal itu tercermin dalam pandangannya tentang manusia. Manusia menurut Louis Leahy adalah makhluk yang menyempurnakan diri.210 Aktivitas menyempurnakan diri mengandaikan adanya perubahan atau evolusi. Dalam proses ini unsur yang ada dalam diri manusia, sekaligus sebagai unsur yang membedakannya dengan benda mati dan binatang adalah kesadaran.211 Manusia adalah makhluk yang sadar. Manusia mempunyai kemampuan untuk memikirkan masa lampau, masa depan, mengambil keputusan, dan merencanakan. Manusia adalah pendorong aktivitas evolusi itu sendiri.212 Manusia dengan demikian juga mempunyai 206 Bdk. Hans J. Daeng, Adaptasi Dan Integrasi Nilai Budaya Tradisional- Modern, dalam ?Basis?, Maret, XLII, no.3, 1993, hal:90 207 Bdk.Harold H. Titus, Op.Cit., hal:131 208 Bdk. Koentjaraningkrat, Op.Cit., hal:23 209 Bdk. Pembahasan Tentang ?Determinisme Biologis?, dalam 3.3.1 210 Bdk. Pembahasan tentang ?Manusia Sebagai Pribadi Harus Mengembangkan Dirinya?, dalam 2.1.3 211 Bdk. Joseph v. Kopp, Teilhard de Chardin: Sintese Baru Tentang Evolusi, Yayasan Kanisius, Yogyakarta, 1971, hal:43 212 Bdk. DR. Franz Dahler, Op.Cit., hal:73-74 kemampuan untuk menciptakan perilaku yang baru dalam perjalanan hidupnya.213 Karena itulah harus dikatakan bahwa evolusi bukanlah merupakan sesuatu yang terjadi dan berkembang secara kebetulan,214 melainkan evolusi merupakan sesuatu yang terjadi secara terarah berdasarkan kesadaran batin dan kebebasan manusia untuk menentukan dirinya.215 Jadi di dalam proses evolusi hakekat manusia terutama bukan dibentuk dan ditentukan oleh lingkungannya, melainkan oleh bagaimana manusia itu menciptakan dan menyempurnakan dirinya. Dalam hal ini lingkungan mempunyai pengaruh yang besar terhadap proses pembentukan pribadi manusia. Meskipun demikian manusia tetap merupakan subyek utama yang berperanan besar dalam menentukan hidupnya.216 Inilah wujud kebebasan manusia itu. 4.3. Louis Leahy Dan Determinisme Sosiologis Determinisme sosiologis melihat manusia sebagai hasil hubungan-hubungan sosial. Menurut pandangan determinisme sosiologis manusia tidak memiliki kebebasan karena tindakan-tindakan dan keputusan-keputusannya selalu ditentukan oleh lingkungan sosialnya.217 Atau dapat juga dikatakan bahwa tindakan dan keputusan yang dibuat oleh manusia bukanlah sesuatu yang spontan atau yang lahir dari kebebasan menentukan dirinya sendiri, melainkan selalu sebagai hasil perhitungan dengan struktur sosial. 4.3.1. Determinisme Sosiologis Tidak Absolut 213 Bdk. Karl Mannheim, Sosiologi Sistematis: Suatu Pengantar Studi Tentang Masyarakat, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1987, hal:10 214 Bdk. Louis Leahy, Sains Dan Agama Dalam Konteks Zaman Ini, Kanisius, Yogyakarta, 1997, hal:36 215 Bdk. DR. Franz Dahler, Op.Cit., hal:73-74 216 Bdk. Hans J. Daeng, Op.Cit., hal:89 217 Louis Leahy, Esai Filsafat Untuk Masa Kini: Telaah Masalah Roh- Materi Berdasarkan Data Empiris Baru, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1991, hal:4 Terhadap pendapat ini Leahy mengatakan bahwa determinisme sosiologis bukanlah sesuatu yang absolut. Itu berarti bahwa dalam arti tertentu argumen determinisme sosiologis mengandung kebenaran. Namun dalam arti lain pendapat itu bukanlah sesuatu yang sama sekali benar. Dengan kata lain pendapat determinisme sosiologis juga mengandung kelemahan-kelemahan. Di mana letak kelemahan argumennya? Dan di mana letak kebenaran argumennya? Kelemahan argumen aliran determinisme sosiologis terutama terletak dalam sikapnya yang memutlakkan peran sosial dalam menentukan hidup manusia.218 Determinisme sosiologis hanya melihat realitas kehidupan bahwa masyarakat ? menciptakan? manusia. Sebaliknya determinisme sosiologis belum melihat bahwa manusia juga ?menciptakan? masyarakat.219 Dengan demikian manusia dalam konsep determinisme sosiologi belum dilihat sebagai suatu makhluk yang utuh dan mandiri. Manusia sebagai makhluk yang utuh dan mandiri menurut Louis leahy merupakan suatu interioritas.220 Dalam istilah Interioritas ini terkandung arti bahwa manusia masuk di dalam dirinya sendiri, hadir di dalam dirinya sendiri.221 Karena manusia adalah suatu interioritas, maka manusia adalah subyek. Karena manusia adalah subyek maka dia tidak akan hanyut begitu saja dalam arus gerak masyarakat di mana dia hidup. Manusia sebagai subyek dengan demikian merupakan makhluk yang mempunyai kebebasan untuk menentukan dirinya.222 Kebebasan manusia dalam konteks hidup sosial itu terlihat misalnya dalam keleluasaannya untuk menentukan 218 Bdk. Drs. A.W. Widjaja, Manusia Indonesia: Individu Keluarga Dan Masyarakat, Akademika Pressindo, Jakarta, 1986, hal:147 219 Bdk. J.W.M. Bakker SJ, Filsafat Kebudayaan: Sebuah Pengantar, Yayasan Kanisius (Yogyakarta) dan Gunung Mulia (Jakarta), 1984, hal:61 220 Bdk. Pembahasan tentang konsep Louis Leahy tentang manusia: Manusia sebagai ?Kombinasi Roh Dan Materi?, dalam 2.1.1 221 Bdk. Driyarkara, Driyarkara Tentang Kebudayaan, Yayasan Kanisius, Yogyakarta, 1980, hal:56 222 Bdk. J. van Baal, Sejarah Dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya (Hingga Dekade 1970), jilid 2, PT. Gramedia, Jakarta, 1988, hal:204 tempat tinggalnya, bebas memilih teman hidupnya, dan lain sebagainya. 4.3.2. Tidak Ada Pertentangan Antara Manusia Sebagai Pribadi Dan Masyarakat Sekali lagi menurut Louis Leahy hakekat manusia adalah sebagai makhluk yang menyempurnakan diri. Dalam hal ini juga harus dikatakan bahwa dinamika manusia itu adalah dinamika kearah penyempurnaan sesamanya. Mengapa? Karena manusia adalah makhluk sosial.223 Manusia selalu hidup bersama dan membentuk kesatuan dengan sesamanya.224 Manusia tidak bisa menjadi sempurna kecuali dengan menyempurnakan diri bersama-sama dengan sesamanya. Karena itu dinamika penyempurnaan diri manusia tidak bisa tidak juga merupakan penyempurnaan sesamanya. Hal itu juga berarti bahwa manusia harus menyempurnakan masyarakat sekitarnya.225 Maka pada dasarnya sama sekali tidak ada pertentangan antara tujuan manusia sebagai pribadi dan tujuan masyarakat di mana dia hidup dan menyempurnakan dirinya. Menyempurnakan diri berarti menyempurnakan masyarakat. Begitu pula sebaliknya, menyempurnakan masyarakat berarti menyempurnakan diri manusia sendiri.226 Di sinilah terkandung makna yang sangat jelas mengenai ide kebebasan manusia. Manusia yang menyempurnakan diri adalah manusia yang bebas. Hubungan timbal balik antara manusia sebagai pribadi dan masyarakat tersebut dalam arti tegas bukan berarti mencampurkan begitu saja antara pengertian manusia sebagai pribadi dan masyarakat. Masyarakat dalam konteks ini diartikan sebagai suatu 223 Bdk. DR. Soedjono Dirdjosisworo, S.H., Asas-Asas Sosiologi, Armico, Bandung, 1985, hal:57-59 224 Bdk. Sutarjo Adisusilo, Problematika Perkembangan Ilmu Pengetahuan, Yayasan Kanisius, Yogyakarta, 1983, hal:99 225 Bdk. M. Habib Mustopo, Ilmu Budaya Dasar: Kumpulan Essay-Manusia Dan Budaya, Usaha Nasional, Surabaya, 1989, hal:200 226 Bdk. Prof. DR. N. Drijarkara SJ. Filsafat Manusia, Yayasan Kanisius, Yogyakarta, 1969, Hal:52-53 asosiasi individu-individu227 yang mempunyai tugas menyempurnakan dirinya. Sedangkan manusia dipandang sebagai persona yang terbuka terhadap masyarakatnya. Jadi manusia merupakan bagian dari masyarakat. Jika masyarakat itu dianalogikan dengan sebuah tubuh. Maka manusia sebagai pribadi merupakan bagian-bagian tubuh itu, seperti tangan, kaki, dan semacamnya. Dalam posisinya itu, kebebasan manusia sebagai pribadi terletak dalam keterbukaannya untuk senantiasa menyempurnakan dirinya dan menyempurnakan masyarakatnya. 4.4. Louis Leahy Dan Determinisme Teologis Determinisme teologis berpendapat bahwa manusia tidak bebas karena telah dideterminasikan oleh Tuhan. Tesis aliran ini didasarkan pada dua sifat Tuhan, yaitu Tuhan sebagai yang Maha-tahu dan Tuhan sebagai yang Maha-kuasa. Sebagai yang Maha-tahu, Tuhan telah meramalkan segala sesuatu yang akan terjadi dalam hidup manusia. Dan sebagai yang Maha-kuasa Tuhan adalah satu-satunya tempat manusia menggantungkan dirinya. 4.4.1. Determinisme Teologis Meletakkan Masalah Secara Salah Louis leahy mengatakan bahwa determinisme teologis menempatkan masalah secara salah. Mereka beranggapan seakan-akan Tuhan itu merupakan lawan bersaing dari manusia. Penempatan masalah yang secara salah dilakukan oleh determinisme teologis terlihat juga dalam pola pemikirannya yang menyamakan begitu saja antara apa yang dipikirkan dan dilakukan oleh Tuhan dengan apa yang dilakukan dan dipikirkan oleh manusia. Determinisme teologis berusaha meletakkan kehendak Allah yang berada dalam taraf transenden itu dalam taraf manusiawi.228 Dengan kata lain aliran determinisme teologis mempunyai kecenderungan kuat untuk melihat konteks hubungan antara Tuhan dan manusia ini melulu berdasarkan kaca mata manusia. 227 Bdk. Johannes Messner, Social Ethhics: Natural Law In The Western World, B. Herder Book Co., St. Louis And London, 1965, hal.99 228 Bdk. Prof.Dr. Louis Leahy SJ, Filsafat Ketuhanan Kontemporer, Kanisius (Yogyakarta) dan BPK Gunung Mulia (Jakarta), 1993, hal:225 Misalnya aliran determinisme teologis mengatakan bahwa Tuhan telah meramalkan dan menentukan segala sesuatu yang akan terjadi dan yang akan dilakukan oleh manusia. Itu berarti Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak atas hidup manusia. Apa saja yang ada dalam otak manusia dapat diwujudkan oleh Tuhan. Selanjutnya kehendak Tuhanlah yang harus direalisasikan. Dan kehendak manusia harus tunduk pada kehendak Tuhan itu.229 Dengan demikian pada dasarnya tidak ada kebebasan sama sekali di dalam dunia manusia karena semua sudah diramalkan dan ditentukan oleh Tuhan. Manusia dalam pandangan aliran ini sama seperti sebuah wayang yang dijalankan oleh seorang dalang.230 Dengan berpikir dan mengatakan bahwa Tuhan ?meramalkan? maka determinisme teologis secara jelas telah meletakkan Tuhan dalam konteks waktu. Padahal Tuhan tidak terikat waktu. Jadi pendapat itu sama dengan menyangkal keabadian Tuhan. Terhadap tesis determinisme teologis itu Louis Leahy mengatakan bahwa Tuhan itu tidak meramalkan, Dia melihat, Dia tidak berada dalam waktu. Tuhan itu bersifat transenden.231 Tuhan tetap memberi kebebasan pada manusia untuk menentukan sendiri pilihan hidupnya. Dengan demikian semua tindakan dan keputusan yang diambil oleh manusia merupakan sesuatu yang lahir dari kebebasan manusia untuk menentukan dirinya sendiri. 4.4.2. Kebebasan Manusia Tidak Berarti Ketidaktergantungan Pada Tuhan Determinisme teologis juga mengatakan bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan karena pada kenyataannya manusia tergantung pada Tuhan. Terhadap pendapat yang kedua ini Louis Leahy mengatakan bahwa kebebasan manusia sama sekali tidak berarti ketidaktergantungan pada Tuhan. Sebaliknya kebebasan manusia 229 Bdk. Dr. Harus Nasution, Filsafat Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1979, hal:102 230 Bdk.Dr. Harun Nasution, Op.Cit., hal:102 dan Ahmad Syafi Maarif, Kebebasan Dan Keniscayaan, dalam ?Basis?, Oktober, XXXVII, no.10, 1988, hal:395 231 Bdk. Prof.Dr. Louis Leahy SJ, Aliran-Aliran Besar Ateisme: Tinjauan Kritis, Kanisius (Yogyakarta) dan BPK Gunung Mulia (Jakarta), 1992, hal:132 lebih merupakan kebebasan yang diterima dari Tuhan.232 Kebebasan manusia merupakan bentuk partisipasi dalam kebebasan Tuhan. Partisipasi itu mengandaikan sikap terbuka terhadap Allah. Dan dalam hal ini keterbukaan manusia terhadap Allah merupakan keputusan yang bebas.233 Jadi meskipun tergantung pada Allah, manusia tetap memiliki kebebasan. Mengapa? Karena keputusan untuk tergantung pada Tuhan itu pun dibuat oleh manusia dengan kebebasannya.234 4.4.3. Manusia Adalah Makhluk Yang Berdialog Dengan Allah Kebebasan manusia di hadapan Tuhan juga bisa direfleksikan dalam kerangka teologi biblis. Dalam konteks teologi biblis manusia dilihat sebagai makhluk yang berdialog dengan Allah.235 Manusia adalah makhluk rohani.236 Realitas ini dalam hubungannya dengan antropologi filsafat dilihat sebagai bentuk keterbukaan manusia pada Tuhan. Manusia dengan kebebasannya telah memutuskan untuk percaya kepada Tuhan.237 Bagi manusia Tuhan adalah realitas tertinggi yang sangat dicintai dan sungguh-sungguh nyata.238 Keterbukaan semacam ini tentu saja tidak lahir begitu saja. Artinya bahwa manusia tidak bisa menyandarkan diri pada Tuhan jika manusia tidak yakin akan Eksistensi Allah sendiri. Maka keterbukaan semacam ini lahir pertama-tama 232 Bdk. Louis Leahy, Op.Cit., hal:140 233 Bdk.DR. Nico Syukur Dister OFM, Filsafat Agama Kristen: Mempertanggungjawabkan Iman Akan Wahyu Allah Dalam Yesus Kristus, Kanisius (Yogyakarta) dan Gunung Mulia (Jakarta), 1985, hal:102 234 Bdk.DR. Nico Syukur Dister OFM, Op.Cit., hal:102 235 Bdk. Kej. 18:16-33, dan masih banyak perikop lain. Perikop-perikop ini menunjukkan sekaligus merupakan bukti adanya dialog dalam suasana kebebasan antara manusia dan Tuhan sendiri. 236 Bdk. Louis Leahy, Manusia Dan Usahanya Mencari Makna, dalam ? Basis?, Nopember, XXXVI, no.11, 1987, hal:404 237 Bdk. Prof.Dr. Louis Leahy SJ, Aliran-Aliran Besar Ateisme: Tinjauan Kritis, Op.Cit., hal:46 238 Bdk. Louis Leahy, Iman Kristiani Dan Paham Freud, dalam ?Basis?, Oktober, XXXVIII, no.10, 1989, hal363 dari keyakinan manusia bahwa Tuhan itu sungguh-sungguh ada. Selain dibutuhkan pengakuan dari manusia bahwa Tuhan itu ada, juga dalam relasi yang penuh keterbukaan itu diperlukan komunikasi ekstistensial antara Allah dan Manusia.239 Komunikasi eksistensial artinya adalah relasi yang berdasarkan logika hati atau hubungan personal antara Tuhan dan manusia. Dalam relasi antar Tuhan dan manusia itu seringkali dijumpai fakta yang seolah-olah mengatakan bahwa manusia ?harus? taat kepada Tuhan. Dalam arti tertentu pemikiran semacam itu dapat kita terima karena memang dalam kenyataannya manusia banyak menemukan kesulitan untuk sungguh-sunguh memilih kebenaran yang sejati. Kesulitan manusia untuk memutuskan memilih sesuatu yang adalah benar itu secara teologis dilihat sebagai akibat dosa manusia sendiri.240 Dosa itulah yang mengekang kebebasan manusia. Dan bukan Tuhan. Dengan melihat hal ini kita bisa menyimpulkan bahwa kebebasan manusia itu pertama-tama bukan ditentukan oleh Tuhan. Melainkan kebebasan manusia merupakan sesuatu yang ditentukan oleh manusia sendiri. 4.5. Louis Leahy Dan Determinisme Ketidaksadaran Detereminisme ketidaksadaran memandang manusia sebagai makhluk yang tidak memiliki kebebasan karena seluruh aktivitasnya pada dasarnya merupakan produk dorongan kecenderungan-kecenderungan instingtif yang tidak disadarinya.241 Sedangkan motif-motif yang sadar hanyalah merupakan suatu penipuan. Oleh karena itu motif-motif sadar itu sebenarnya hanyalah bentuk-bentuk semu dari kebebasan. Freud juga berpendapat bahwa kaidah hukum sebab akibat yang ada dalam alam semesta ini berlaku untuk seluruh umat manusia. Apapun yang terjadi pada masa 239 Bdk. Joao Inocencio Piedade, Problematika Manusia Dalam Antropologi Filsafat, dalam ?Basis?, Nopember, XXXV, no.11, 1986, hal428 240 Bdk. Joao Inocencio Piedade, Op.Cit., hal:428 241 Bdk. Philip L. Harriman, Modern Psychology, Littlefield, Adam and Co, Ames, Iowa, 1958, hal:96 sekarang ini secara teoritis dapat dimengerti dengan kembali melihat peristiwaperistiwa yang terjadi pada masa lampau.242 Jika pada masa sekarang seseorang membunuh yang lain, maka menurut Freud kita harus melihat masa lalu untuk mencari sebab-sebab tindakan itu. Dengan cara itu Freud hendak menunjukkan bahwa segala sesuatu yang terjadi pada masa sekarang pasti mempunyai sebab-sebab. Dan sebabsebab itu ada di masa lampau. Dalam konteks inilah Freud berpendapat bahwa tindakan manusia pada masa sekarang sebenarnya bukan merupakan realisasi perbuatan yang bebas, melainkan hanya merupakan produk dari masa lampau.243 4.5.1. Pribadi Manusia Mengandung Unsur Yang Kompleks Di sini Leahy mengakui adanya kebenaran-kebenaran yang ditemukan oleh penyelidikan psikoanalisa dan psikologi pada umumnya. Mengapa? Karena Leahy menyadari bahwa manusia adalah makhluk hidup yang mengandung unsur-unsur sangat kompleks. Kebebasan manusia pun juga bukanlah sesuatu yang lengkap dan sempurna secara total. Meskipun demikian bukan berarti bahwa manusia tidak memiliki kebebasan. Mengatakan bahwa manusia tidak bebas sama sekali adalah tidak tepat. Namun menurut Leahy akan lebih tepat apabila dikatakan bahwa kebebasan manusia itu bukanlah sesuatu yang total. Kebebasan manusia selalu mempunyai batasbatas. 244 Dalam konteks ini tugas manusia adalah menaklukkan kepada dirinya sendiri segala sesuatu yang bersifat irasional-instingtif dan menguasainya dengan bebas serta menurut keteraturan-keteraturannya sendiri.245 Sedangkan berkaitan dengan pendapat Freud mengenai hukum sebab akibat yang menguasai seluruh umat manusia, Leahy mengatakan bahwa kebebasan manusia 242 Bdk. Thomas A. Harris, MD, Saya Oke-Kamu Oke, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1987, hal:52 243 Bdk. Thomas A. Harris, MD, Op.Cit., hal:52 244 Bdk. Harry Hamersma, Op.Cit., hal:13 245 Bdk. Dr. P.A. van der Weij, Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia, PT Gramedia, Jakarta, 1988, hal:96 tidak terdiri dari penyangkalan terhadap hukum alam semesta itu.246 Sebaliknya, menurut Leahy, kebebasan manusia itu terdiri dari mengorientasikan mereka (alam) dengan mempergunakan kekuatan-kekuatan mereka sendiri.247 4.5.2. Psikoanalisa Mengandaikan Kebebasan manusia Selanjutnya harus dikatakan bahwa penyangkalan kebebasan oleh dan berdasarkan psikoanalisa sebenarnya tidak mempunyai dasar-dasar yang kokoh. Mengapa demikian? Karena pada dasarnya Freud sendiri mengakui dan bahkan menuntut adanya kebebasan dalam diri manusia.248 Hal itu terlihat secara jelas dalam metode-metode penyembuhan bagi pasien-pasien histeria, penafsiran mimpi, dan lain sebagainya. Dalam perjuangan ini kerjasama dan keinginan yang kuat untuk sembuh dari para pasien merupakan faktor yang sangat menentukan tingkat keberhasilan (kesembuhan). Dan memang dari pihak Freud sendiri tujuan utama usaha penyembuhan itu adalah ?membebaskan? pasien dari kecenderungan-kecenderungan instingtif yang menguasainya.249 Dengan kata lain Freud ingin mengangkat unsur-unsur ketidaksadaran manusia ke dalam kesadaran. Dan menurut Freud tujuan itu akan berhasil jika si pasien memiliki kebebasan untuk mengambil keputusan. Atau dapat juga dikatakan bahwa dalam usaha penyembuhan itu Freud sangat menekankan peran kesadaran, keinginan untuk hidup secara lebih baik, dan kebebasan dari para pasien. Dengan demikian kebebasan memainkan peranan yang sangat penting dalam psikoanalisa Freud. Dan karena itulah penyangkalan kebebasan manusia dalam hal ini 246 Dalam hal ini Freud memberi jawaban yang persis sama dengan jawabannya atas paham determinisme fisik atau determinisme universal. (Bdk. Pembahasan tentang ?Louis Leahy Dan Determinisme Universal?, dalam 4.1) 247 Bdk. Louis Leahy, Op.Cit., hal:141 248 Bdk. K. Bertens M.S.C., Perhatian Filsafati Atas Psikoanalisa, dalam ? Orientasi: Pustaka Filsafat Dan Teologi?, Th. 2, no.1, 1970, hal:14 249 Bdk. DR. Franz von Magnis, Etika Umum: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Yayasan Kanisius, Yogyakarta, 1975, hal:68 sebenarnya tidak mempunyai dasar-dasar yang kokoh. 4.5.3. Unsur Ketidak-sadaran Sulit Dijadikan Dasar Pendorong Tindakan Manusia Determinisme ketidak-sadaran berpendapat bahwa tindakan-tindakan manusia merupakan hasil dorongan unsur ketidaksadaran dalam diri manusia. Tesis semacam ini sulit diterima pertama-tama karena masih belum jelas apa dan bagaimana ketidaksadaran itu, justru karena unsur itu merupakan unsur yang tidak disadari. Dan oleh karenanya unsur ketidak-sadaran juga tidak memberi keterangan yang berarti bagi kehendak, kesadaran dan kebebasan manusia. Alasan kedua mengapa determinisme ketidak-sadaran harus ditolak adalah karena pandangannya yang terlalu mekanistis. Manusia dimengerti seperti sebuah mesin. Padahal mesin dan bagian-bagiannya bertindak tidak demi suatu tujuan. Bagianbagian dari sebuah mesin itu memang berada dalam keseluruhan, misalnya sebuah mobil. Namun mereka berjalan menurut hukumnya masing-masing. Dengan demikian sebuah mobil dari dalam dirinya sendiri tidak mempunyai tujuan. Melainkan tujuan adanya sebuah mobil itu ditentukan oleh manusia, yang merangkainya, atau yang mengemudikannya, dan lain sebagainya.250 Cara berpikir secara mekanistis seperti tersebut harus ditolak. Mengapa? Karena manusia berbeda dengan sebuah mesin yang harus diprogram oleh manusia sendiri. Manusia adalah makhluk yang secara bebas dapat menentukan tujuan-tujuan hidupnya sendiri. 4.6. Kesimpulan Louis Leahy Atas Paham Determinisme 4.6.1. Determinisme Dan Ketidak-koherenannya Pemikiran yang dikedepankan oleh aliran determinisme tidak bisa diterima. Alasannya adalah karena pemikiran para determinis mengandung banyak ketidakkoherenan. Hal itu terjadi karena para penganut aliran determinisme tidak mempertahankan pendapatnya karena pendapat itu ?in se? adalah benar, melainkan 250 Bdk. Prof. I.R. Poedjawiyatna, Op.Cit., hal:64-65 karena para determinis hanya mewarisi pola pemikiran tertentu.251 Artinya para determinis itu mengungkapkan buah pemikirannya bukan karena struktur alam semesta itu bersifat begini atau begitu secara objektif, melainkan karena struktur otak para determinis yang terbentuk sedemikian rupa sehingga menghasilkan pandanganpandangan yang sifatnya deterministis.252 Dan karena pemikirannya itu akal budi para determinis akan tertutup terhadap kebenaran-kebenaran yang lain dan terhadap argumen-argumen baru yang mungkin akan terpikirkan kemudian. Pendek kata para determinis tetap mempertahankan bahwa pendapat atau argumennya adalah yang paling benar.253 Lebih lagi mereka menginginkan pengakuan secara ilmiah bahwa gagasan-gagasannya juga bersifat rasional dan bersifat obyektif dan bukan hanya semacam propaganda-propaganda yang sama sekali tidak mengandung kebenaran. Di sinilah terlihat dengan jelas ketidak-koherenan pola pemikiran aliran determinisme. Aliran determinisme merasa bahwa pernyataan-pernyataan yang mereka kedepankan adalah satu-satunya pernyataan yang benar. Artinya mereka merasa sangat yakin bahwa manusia itu tidak mempunyai kebebasan. Sebaliknya mereka kurang menyadari bahwa pada saat membuat pernyataan itu mereka telah mengeluarkan suatu keputusan yang kontradiktif. Suatu keputusan yang menyangkal keputusan atau argumen mereka sendiri. Mengapa? Mereka yakin bahwa di dunia ini tidak ada kebebasan. Namun mereka tidak sadar bahwa argumen itu sebenarnya merupakan bentuk kebebasan manusia untuk memutuskan dan memilih yang benar daripada yang salah. Di dalam konteks inilah terlihat secara jelas letak ketidak-koherenan pemikiran kaum determinisme. Di satu pihak mereka menyangkal kebebasan. Di pihak lain mereka tidak menyadari bahwa kebebasan itu ada dalam diri mereka sendiri. 251 Bdk. Prof. DR. H.M. Rasjidi, Filsafat Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1978, hal209-210 252 Bdk. Louis Leahy, Op.Cit., hal:144 253 Bdk. Prof. DR. H.M. Rasjidi, Op.Cit., hal209-210 4.6.2. Manusia Adalah Makhluk Yang Bebas254 Manusia berbeda dengan binatang dan tumbuhan serta benda-benda mati lainnya. Manusia merupakan bagian dari alam semesta, namun ia terpisah dari alam semesta. Artinya walaupun dalam kenyataannya manusia hidup di dalam alam semesta ini, namun manusia mempunyai kemampuan untuk tidak begitu saja ikut arus gerak alam semesta ini. Manusia mempunyai kemampuan untuk menyatukan, sekaligus melepaskan diri dari semua pengaruh lingkungan alam sekitarnya.255 Manusia adalah makhluk yang selalu mempunyai keinginan-keinginan. Namun dengan kebebasannya manusia mampu mengekang keinginan-keinginan yang muncul dalam dirinya untuk suatu tujuan yang lebih tinggi. Demikian juga manusia mempunyai keinginan untuk hidup bahagia dan sejahtera selama hidup di dunia. Namun semua itu dapat saja dikorbankan, tentu saja dengan landasan kebebasannya, untuk mencapai kebahagiaan sejati, yaitu persatuan abadi dengan Allah di surga.256 Manusia hidup dalam ruang dan waktu. Manusia sadar bahwa hidupnya tergantung pada kondisi-kondisi tertentu dari alam semesta. Manusia tidak bisa melawan dan menolak gejala-gejala alamiah, seperti terbit dan tenggelamnya matahari, bulan dan bintang-bintang.257 Meskipun demikian, tanpa harus melanggar hukumhukum alam itu, bahkan dengan mematuhi hukum-hukum itu, manusia dengan kebebasannya mampu mengubah dunia. Manusia adalah makhluk yang bertubuh. Dalam konteks ini kebebasan manusia memang harus dipahami sebagai sesuatu yang terbatas.258 Kebebasan merupakan sesuatu yang harus terus-menerus diperjuangkan oleh manusia. Namun hal 254 Kami sebenarnya sudah menyajikan pembahasan yang kurang lebih lengkap tentang alasan-alasan Louis Leahy untuk membuktikan adanya kebebasan manusia dalam bagian 2.2.2. Uraian dalam bagian ini berfungsi melulu sebagai penegasan atas penjelasan tersebut. 255 Bdk. Prof. DR. H.M. Rasjidi, Op.Cit., hal209-210 256 Bdk. Pembahasan tentang ?Kebebasan Horisontal Dan Kebebasan Vertikal? dalam 2.2.2.3. 257 Bdk. Ernst Cassirer, Manusia Dan Kebudayaan: Sebuah Esei Tentang Manusia, Gramedia, Jakarta, hal:70 tidak berarti bahwa manusia adalah makhluk yang tidak bebas. Manusia tetap merupakan makhluk yang mempunyai kebebasan.259 Kontingensi dan keterbatasan dunia manusia ini menuntut adanya seorang Allah pencipta untuk menerangkan segala sesuatu yang tidak dapat diterangkan oleh keberadaan manusia.260 Dan atas nama akal budilah manusia menerima adanya sebuah eksistensi Allah Pencipta. Dia adalah yang Tak-Terbatas dan yang mengatasi segala kemampuan budi manusia. Dia tidak bisa ditangkap secara langsung oleh akal budi manusia, melainkan Dia hanya bisa ditangkap melalui suatu analogi.261 Dengan kata lain pada taraf konsep kita tidak pernah dapat memahami bagaimana yang terbatas (manusia) dapat ber-koeksistensi dengan Yang-Tak-Terbatas. Bagaimana suatu kebebasan dapat tetap nyata meskipun Allah mahakuasa dan meskipun tindakan-Nya meresapi segala-galanya. Namun, menurut Louis leahy, melalui analogi manusia akan melihat bahwa Yang-Tak-terbatas itu bukannya meniadakan keaslian dari yang terbatas. Jadi Keberadaan Allah itu bukannya meniadakan kebebasan manusia. Melainkan keberadaan Allah itu merupakan sumber yang wajib dari kebebasan 258 Bdk.Dr. Harun Nasution, Op.Cit., hal:103 259 Bdk. Prof. Dr. Louis Leahy S.J., Manusia Di Hadapan Allah 3: Kosmos Manusia Dan Allah, Kanisius (Yogyakarta) dan BPK Gunung Mulia (Jakarta), 1986, hal:63 260 Bdk. Prof. Dr. Louis Leahy S.J., Manusia Di Hadapan Allah 3: Kosmos Manusia Dan Allah, Op.Cit., hal:63 261 Metode analogi yang dimaksud oleh Louis Leahy adalah metode pemahaman yang bertolak dari pengalaman manusia. Metode analogi dilakukan dengan cara bertolak dari tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan yang paling bawah untuk akhirnya sampai pada pemahaman akan kegiatan atau tindakan yang paling tinggai, yaitu kegiatan Tuhan sendiri. Dengan metode itu Leahy hendak menunjukkan bahwa masalah yang dihadapi oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhan merupakan sebuah misteri. Dikatakan sebuah misteri bukan karena kealpaan akal budi manusia, melainkan karena akal budi manusia yang bersifat diskursif harus diatasi. Artinya adalah bahwa kesukaran konseptual yang dijumpai oleh manusia dalam menerangkan Tuhan itu bukanlah suatu yang absurd, melainkan merupakan suatu tanda dari misteri Tuhan yang melampaui akal budi manusia.. (Bdk. Prof.Dr. Louis Leahy SJ, Filsafat Ketuhanan Kontemporer, Kanisius (Yogyakarta) dan BPK Gunung Mulia (Jakarta), 1993, hal:226-230 manusia.262 Leahy juga berusaha memberikan alasan-alasan yang mendasar tentang kebebasan berdasarkan pengalaman hidup manusia sendiri. Secara garis besar Louis Leahy menyodorkan tiga alasan, yaitu argumen persetujuan umum, argumen psikologis dan argumen etis.263 262 Bdk. Prof. Dr. Louis Leahy S.J., Manusia Di Hadapan Allah 3: Kosmos Manusia Dan Allah, Op.Cit., hal:63 263 Bdk. Pembahasan tentang ?Alasan-Alasan Yang Membenarkan Adanya Kebebasan? dalam 2.2.2 BAB V PENUTUP Pengantar Kita telah menyimak secara cukup panjang lebar uraian tentang pemikiran Louis Leahy tentang kebebasan manusia dalam hubungannya dengan determinisme. Kini kita sampai pada bagian akhir dari proses pembicaraan itu. Pada bagian akhir ini kami akan berusaha melihat kembali secara garis besar pokok-pokok pemikiran Louis Leahy tentang kebebasan manusia dan determinisme. Kerangka besar peninjauan kembali itu kami bagi dalam tiga bagian. Pertama-tama kami akan menyimpulkan pembahasan tentang kebebasan dan determinisme. Kemudian kami akan berusaha memberikan tinjauan kritis atas pemikiran Louis Leahy itu. Dan sebagai penutup, kami akan mencoba relevansi pemikiran Louis Leahy itu dengan konteks realitas kehhidupan masyarakat Indonesia dan konteks realitas kehhidupan gereja Indonesia saat ini. 5.1. Kesimpulan 5.1.1. Letak Persoalan Determinisme Dan Kebebasan Tema besar pembahasan karya ilmiah ini adalah kebebasan manusia dan determinisme. Itu berarti kita membicarakan dua hal yang bertolak belakang satu dengan yang lain. Dikatakan saling bertolak belakang karena gagasan kedua aliran itu, yaitu aliran yang berpihak pada kebebasan dan aliran yang berpihak pada determinisme saling bertentangan. Aliran yang berpihak pada paham kebebasan mengatakan bahwa manusia itu bebas. Sebaliknya aliran yang berpihak pada paham determinisme tetap bertahan pada posisi pendapatnya bahwa manusia tidak bebas. Berikut akan kita lihat rincian pendapat dari masing-masing aliran. 5.1.1.1. Kebebasan Sebagai Unsur Esensial Pribadi Manusia Aliran kebebasan, yang dalam konteks ini diwakili oleh Louis Leahy, mengatakan bahwa kebebasan merupakan unsur esensial pribadi manusia. Kebebasan merupakan salah satu karakter dasar manusia. Manusia adalah makhluk yang secara esensial berkehendak. Dalam perbuatan berkehendaknya keakuan manusia hadir dalam dirinya dan menguasainya. Karena itulah pada dasarnya manusia tidak dapat tidak bekehendak. Secara mutlak obyek dari kehendak manusia adalah kebaikan atau ada sebagai baik. Itu sama artinya dengan pernyataan bahwa manusia secara mutlak ingin bahagia. Kebebasan merupakan suatu nilai yang dijunjung tinggi oleh manusia. Mengapa demikian? Karena manusia hanya mungkin merealisasikan dirinya secara penuh jika manusia itu bebas. Kata kebebasan itu sendiri pada umumnya diartikan sebagai ketiadaan paksaan. Kebebasan fisik berarti ketiadaan paksaan fisik. Kebebasan moral berarti ketiadaan paksaan moral. Kebebasan psikologis berarti ketiadaan paksaan psikologis. Kebebasan psikologis disebut juga kebebasan untuk memilih atau kebebasan berkehendak. Kebebasan psikologis memberi keleluasaan pada subyek untuk memilih antara pelbagai tindakan yang mungkin. Ada beberapa argumen yang menunjukkan adanya kebebasan. Yang pertama adalah argumen persetujuan umum. Artinya bahwa sebagian besar manusia percaya bahwa mereka diperlengkapi dengan kehendak bebas. Dan dengan realitas itu orang kemudian menyimpulkan baha kehendak manusia itu adalah bebas. Orang bisa mengatakan bahwa dirinya adalah bebas dan bahwa orang lain juga bebas. Argumen kedua adalah argumen psikologis. Argumen ini mengatakan bahwa manusia bisa menyadari kebebasannya secara langsung dan secara tidak langsung. Secara langsung artinya tepat pada saat kita sedang bertindak secara bebas, secara langsung kita menyadari kebebasan itu. Kebebasan ini terjadi ketika manusia memilih atau memutuskan untuk melakukan tindakan ini atau tindakan itu, atau ketika manusia memutuskan untuk tidak melakukan tindakan ini atau tindakan itu. Sedangkan kesadaran tak langsung terlihat ketika manusia berunding untuk suatu keputusan, ketika manusia mempertimbangkan pro dan kontra, ketika manusia menyesalkan keputusan-keputusan, ketika manusia memuji keberhasilan orang lain, dan sebagainya. Dalam semua tindakan itu terkandung suatu arti bahwa manusia bisa berbuat lain. Dan berbuat lain itu adalah wujud suatu kebebasan. Di dalam semua tindakan itu aspek ketidak-langsungan kesadaran manusia terletak dalam sikap "mengakui" adanya kebebasan. Ketika manusia memuji dan mengagumi keberhasilan orang lain, secara tidak langsung dia mengakui adanya kebebasan. Mengapa? Karena keberhasilan mengandaikan adanya kemampuan mengatasi kesulitan-kesulitan. Dan penguasaan kesulitan itu merupakan bentuk kebebasan manusia. Jadi orang yang mengagumi keberhasilan orang lain secara tidak langsung juga mengakui ide kebebasan. Argumen ketiga adalah argumen etik. Argumen ini mengatakan bahwa seandainya tidak ada kebebasan, maka tidak akan ada tanggung jawab moral. Mengapa? Karena tanggung jawab moral selalu mengandaikan adanya kebebasan. Akhirnya Louis Leahy mengatakan bahwa kebebasan manusia mempunyai dua aspek mendasar. Pertama-tama kebebasan manusia mempunyai aspek horisontal. Artinya kebebasan manusia secara mendasar merupakan kebebasan yang tidak sematamata terarah pada kepentingan-kenpentingan manusia secara pribadi, melainkan terutama terarah pada tuntutan-tuntutan cinta kasih dan kemurahan hati kepada sesama manusia. Dengan pemikiran seperti ini Louis Leahy hendak menyampaikan gagasan bahwa manusia yang bebas tidak hanya dituntut untuk mempertanggungjawabkan kebebasannya kepada dirinya sendiri, melainkan juga kepada sesamanya. Aspek kedua dari kebebasan manusia adalah aspek vertikal. Kebebasan vertikal merupakan kebebasan yang terarah kepada kebahagiaan sejati. Dalam pemikiran Louis Leahy kebahagiaan sejati itu adalah Tuhan. Jadi kebebasan vertikal adalah kebebasan yang tertuju pada Tuhan. 5.1.1.2. Absurditas Kebebasan Sepanjang sejarah perkembangan pemikiran ada pemikir yang berpendapat bahwa manusia tidak bebas. Mereka itu adalah para penganut aliran determinisme. Menurut para pemikir ini manusia hanya mengira bahwa dirinya bebas, padahal sebenarnya tidak demikian. Mereka yakin bahwa manusia tidak bisa luput dai postulat determinime universal. 264 Dengan demikian kebebasan manusia menjadi sesuatu yang harus dipertanyakan. Kebebasan dalam pandangan determinisme merupakan suatu yang absurd. Postulat dasar dari determinisme adalah ?kalau manusia bebas, dalam arti menentukan dirinya sendiri atau otodeterminasi, maka ia akan luput dari determinisme dunia fisik. Padahal manusia tidak luput dari determinisme dunia fisik, maka manusia tidak bebas.? Logika semacam ini muncul dari para determinis berdasarkan dua alasan yang bersifat empiris. Dikatakan bersifat empiris karena pertama-tama mereka bertolak dari fakta-fakta yang dapat ditangkap oleh panca indra. Lebih dari itu, aliran determinisme juga mengejar suatu inteligibilitas yang dapat dikontrol dan dapat diverifikasikan oleh pengalaman-pengalaman. Menurut aliran determinisme gejalagejala tertentu dapat dikatakan benar jika bisa dibuktikan dalam kaitannya dengan gejala-gejala lainya. Hal itu sama artinya dengan mengatakan bahwa antara fenomen yang satu dengan fenomen yang lain harus ada hubungan ?antecedens? dan ? consequens?.265 Hubungan itu dapat diungkapkan dengan proposisi hipotetis ini: ? jika ada fenomen X, maka pasti ada pula fenomen Y?. Fenomen X adalah antecedens, sedangkan fenomen Y adalah consequens. Dalam kaca mata aliran determinisme gejala Y dikaitkan sedemikian rupa dengan fenomen Y sehingga fenomen X dianggap sebagai penyebab fenomen Y. Dan justru karena postulatnya itu kaum determinisme melihat bahwa kebebasan manusia itu merupakan sesuatu yang absurd. Menurut mereka, sama seperti segala sesuatu yang ada di dunia ini, maka manusia pun tidak bisa melepaskan diri dari determinisme-determinisme yang melingkupi dan menguasainya. Aliran determinisme sebenarnya mengakui adanya keputusan dan perbuatan yang muncul dari keinginan dan kehendak dalam diri manusia. Namun mereka tetap menyangkal bahwa keputusan dan perbuatan macam itu merupakan sesuatu yang keluar dari kebebasan manusia untuk menentukan dirinya sendiri. Di sini mereka mengatakan bahwa dalam melihat keputusan dan perbuatan manusia, kita tidak boleh 264 Bdk. Dr. Nico Syukur Dister OFM, Op.Cit., hal:123 265 Bdk. Dr. Nico Syukur Dister OFM, Op.Cit., hal:6 hanya berhenti pada keinginan dan kehendak yang muncul dalam diri manusia. Melainkan kita harus berusaha menggali sebab-sebab terdalam dari keputusan dan perbuatan tersebut. Misalnya kita harus bertanya: Dari mana munculnya keinginan dan kehendak itu? Dengan kata lain dari mana asal-usulnya keinginan dan kehendak itu? Dari pertanyaan-pertanyaan semacan itu akhirnya kita akan menemukan jawaban bahwa semua tindakan dan keputusan yang kita lakukan pertama-tama merupakan produk perlengkapan psiko-fisik yang merupakan warisan dari pendahulu manusia. Dan yang kedua adalah merupakan pengaruh lingkungan sosial di mana manusia itu hidup. Jadi jelaslah bahwa menurut kaum determinisme manusia benar-benar dikuasai oleh sesuatu yang di luar dirinya. Karena itulah dalam pandangan kaum determinisme manusia sungguh-sungguh tidak memiliki kebebasan untuk menentukan dirinya. 5.1.2. Sikap Louis Leahy 5.1.2.1. Komplementaritas Determinisme Dan Kebebasan Kebebasan merupakan sesuatu yang sangat esensial dalam kehidupan manusia. Meskipun demikian kebebasan manusia bukanlah sesuatu yang absolut.Kebebasan mempunyai karakter relatif atau dibatasi oleh situasi dan kondisi manusia. Sebagai sesuatu yang relatif atau bersituasi, kebebasan manusia selalu bercampur dengan ketidak-bebasan. Maka manusia sebenarnya tidak pernah bebas secara penuh.266 Namun situasi dan kondisi manusia semacam itu pada dasarnya bukan hanya merupakan faktor yang membatasi dan menghalangi kebebasan manusia, tetapi juga serentak merupakan faktor yang memungkinkan kebebasan. Alasannya adalah karena di luar situasi yang sifatnya terbatas itu manusia tidak mungkin dapat bertindak. Sebagai eksistensi, manusia selalu termuat dalam situasi-situasi tertentu, yaitu situasisituasi batas. Sebagai eksistensi, manusia dapat menemukan dan merealisasikan dirinya sendiri di dunia ini.267 Oleh karena itu dalam aspek atau komponen yang saling 266 Bdk. Dr. Nico Syukur Dister OFM, Op.Cit., hal:6 mempengaruhi dan yang saling terjalin satu sama lain situasi-situasi batas dan kebebasan merupakan dua hal yang saling mengandaikan. Dunia fisik dan kebebasan manusia merupakan dua sisi dari manusia yang tak terpisah dari pribadi manusia sendiri. Sebagai makhluk yang berakal budi, manusia mempunyai karakter yang bersifat rohani dan bebas. Namun sebagai mahkluk jasmani, manusia termasuk bagian dari dunia dengan segala hukum-hukumnya. Dan kerena dua sifat manusia inilah, maka kebebasan dan determinisme tidak saling meniadakan. 5.1.2.2. Ketidakmutlakan Determinisme Dan Kebebasan Manusia berbeda dengan binatang dan benda-benda yang lain. Manusia adalah makhluk yang berbudi. Karena itulah manusia dikatakan sebagai makhluk yang berkehendak bebas. Manusia adalah makhluk yang mempunyai kemampuan untuk menentukan dirinya sendiri. Namun demikian harus diakui bahwa kebebasan manusia bukanlah sesuatu yang absolut. Melainkan, kebebasan manusia merupakan kebebasan yang bersituasi. Mengapa? Karena manusia adalah makhluk yang hidup di dalam dunia yang mempunyai hukum-hukumnya sendiri. Dalam konteks ini berarti harus dikatakan bahwa di samping diri manusia sendiri, juga ada faktor-faktor di luar dirinya yang ikut menentukan hidupnya. Namun faktor-faktor dari luar diri manusia ini pun pada dasarnya juga bukan merupakan sesuatu yang secara absolut mempengaruhi dan menentukan keputusan dan tindakan bebas manusia. Karena manusia ternyata mempunyai kemampuan untuk menentukan pilihan bebasnya, walaupun dia hidup ditengah-tengah dunia yang bersifat deterministis. Berdasarkan realitas semacam itu maka disimpulkan bahwa antara determinisme dan kebebasan manusia merupakan dua hal yang sama-sama terbatas. 5.2. Tinjauan Kritis 5.2.1. Louis Leahy Dan Para Pemikir Pendahulu Pemikiran Louis Leahy tentang manusia dan kebebasan sebenarnya bukanlah sesuatu yang sama sekali baru. Sebagai seorang pemikir, Leahy dan pandanganpandangannya masih dipengaruhi oleh pola pemikiran para pemikir sebelumnya.268 Hal itu terutama terlihat dalam banyak karyanya. Louis Leahy sering kali mengutip pemikiran-pemikiran para filsuf sebelumnya sebagai dasar pemikirannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Louis Leahy sebenarnya berusaha membangun filsafatnya di atas teori-teori atau di atas pemikiran-pemikiran yang sudah ada sebelumnya. Kendati demikian tidak berarti Louis Leahy mengambil alih begitu saja pemikiran para filsuf yang lain. Sebagai seorang pemikir, Leahy juga mempunyai pemikiran sendiri. Dalam banyak hal dia memang mendasarkan pemikirannya pada gagasan para filsuf yang lain, namun dia juga tidak jarang mengkritik pendapat dan gagasan para pemikir yang lain.269 5.2.2. Louis Leahy Sebagai pemikir Yang "Seimbang" Menurut kami, Louis Leahy merupakan seorang pemikir yang tidak berat sebelah dalam mengambil sikap terhadap persoalan kebebasan dan determinisme. Hal itu terlihat dari sikap Louis Leahy yang tidak begitu saja menyetujui satu pendapat dan melawan pendapat yang lain. Sebaliknya, dalam menyikapi pelbagai persoalan yang muncul berkaitan dengan kebebasan dan determinisme, Louis Leahy senantiasa berusaha meletakkan dirinya dalam posisi yang seimbang. Dalam banyak hal Leahy melawan argumen-argumen aliran determinisme yang berusaha menyangkal adanya kebebasan manusia. Namun demikian Leahy juga menerima beberapa gagasan dari aliran determinisme. Hal itu dilakukan karena dia melihat bahwa tidak seluruhnya apa yang disampaikan oleh aliran determinisme itu adalah salah. Sebaliknya dia melihat bahwa argumen-argumen aliran determinisme itu pun mengandung kebenaran. Prinsip yang serupa juga diterapkan pada paham tentang kebebasan. Louis Leahy mengecam paham yang mengatakan bahwa kebebasan adalah segala-galanya. Sebaliknya dia berpendapat bahwa kebebasan manusia itu merupakan sesuatu yang harus terusmenerus diperjuangkan. Kebebasan manusia merupakan sesuatu yang tidak absolut. 268 Bdk. Bagian Kesimpulan dalam 2.1.4 269 Bdk. Julius Runtu, Op.Cit., hal:132-133 Kebebasan manusia merupakan kebebasan yang bersituasi atau terbatas. Kebebasan manusia merupakan kebebasan yang berada di tengah-tengah situasi dunia yang dilingkupi oleh hukum-hukum alam semesta. 5.2.3. Louis Leahy Dan Pengalaman Sehari-hari Dalam memberi jawaban tentang soal-soal kebebasan dan determinisme, Louis Leahy sama sekali tidak mendasarkan diri pada teori-teori yang melangit dan yang sulit diterima oleh kebanyakan orang. Melainkan, Louis Leahy berusaha memberi jawaban yang praktis berdasarkan pengalaman hidup manusia sehari-hari. Sehingga jawabanjawaban yang dilontarkan dapat dengan mudah dicerna oleh semua orang. Selain itu, karena dasar pemikiran Louis Leahy terutama adalah pengalaman hidup manusia, maka pemikiran Leahy menjadi sesuatu yang konkrit. 5.3. Relevansi: Pemikiran Louis Leahy Dan Karya Pastoral Gereja Indonesia Dalam bab pendahuluan kami telah mengemukakan dua alasan mendasar pengangkatan tema kebebasan dalam karya ilmiah ini. Pertama-tama adalah karena ide kebebasan itu merupakan sesuatu yang terus aktual. Dikatakan aktual karena sampai dewasa ini pun kebebasan terus menjadi semacam dilema yang harus dialami dan diterima oleh umat manusia. Di mana letak dilema itu? Dilemanya terletak dalam realitas bahwa di satu pihak dikatakan bahwa kebebasan manusia merupakan karakter dasar yang selalu melekat dalam diri manusia, namun di pihak lain kebebasan manusia itu ternyata merupakan sesuatu yang harus terus-menerus diperjuangkan oleh manusia. Sulit sekali dibayangkan dengan akal budi yang sehat bahwa apa yang sudah menjadi milik manusia, justru menjadi sesuatu yang harus dikejarnya. Alasan kedua yang kami angkat berkaitan dengan pemilihan tema kebebasan adalah adanya realitas bahwa di jaman modern ini muncul kecenderungan yang kuat untuk mendewakan ?kebebasan?. Kata kebebasan kami tulis dengan tanda kutip untuk menegaskan bahwa ternyata dewasa ini terlalu banyak orang mengartikan kebebasan secara salah. Kebebasan sering diartikan sebagai wujud otonomi pribadi yang berat sebelah. Dengan kata lain kebebasan hanya dipahami sebagai itu yang harus sesuai dengan apa yang dipikirkannya. Sebaliknya segala sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki dan dipikirkan oleh akal budi manusia harus ditolak. Berdasarkan dua alasan ini kami berusaha menggali secara mendalam pemikirian Louis Leahy tentang kebebasan manusia. Kemudian kami berusaha menggandengkan pemikiran itu dengan realitas hidup manusia dewasa ini, khususnya dalam konteks kehidupan manusia Indonesia. Berkaitan dengan hal itu kami melihat ada dua hal yang sangat mendasar yang relevan untuk kehidupan manusia (Indonesia) dewasa ini. Pertama adalah kebebasan manusia dalam hubungannya dengan tanggung jawab moral. Dan yang kedua adalah kebebasan manusia dalam hubungannya dengan situasi-situasi konkrit hidup manusia yang mencerminkan adanya tekanan-tekanan terhadap kebebasan. 5.3.1. Kebebasan Dan Tanggung Jawab Moral Kebebasan pada jaman sekarang telah menjadi semacam kata-kata mutiara.270 Atas nama kebebasan, maka semua hal yang tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki dan dipikirkan oleh manusia dipersoalkan. Kebebasan dalam dunia dewasa ini sering menjadi semacam sarana yang paling hebat untuk membenarkan diri atau menentang keputusan dan tindakan yang tidak sesuai dengan keinginannya. Dan berakar dari realitas semacam itu, maka sering muncul pemikiran yang menjadikan arti mendasar dari kebebasan itu menjadi kabur. Di tengah-tengah situasi seperti itu adalah sangat penting untuk menanamkan kesadaran baru tentang makna kebebasan. Dan dalam hal ini Louis Leahy memberi gambaran yang sangat jelas bahwa kebebasan manusia pada dasarnya merupakan sesuatu yang harus dipertanggung-jawabkan secara moral.271 270 Bdk. DR. Franz von Magnis, Op.Cit., hal:43 271 Bdk. Pembahasan tentang ?Kebebasan Horisontal dan Kebebasan Artinya keputusan dan tindakan yang kita ambil harus kita pertanggung-jawabkan terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang sebenarnya. Dengan kata lain, sikap yang kita ambil secara bebas hanya memadai apabila sesuai dengan tanggung jawab secara objektif. Jadi pengertian kebebasan di sini tidak berarti bahwa kita boleh memutuskan apa saja, mengkritik apa saja, menentang apa saja dengan seenaknya. Sebaliknya kebebasan berarti bahwa kita memutuskan sesuatu secara bertanggung-jawab. Dalam hal ini gereja (Indonesia) juga menyuarakan nada yang serupa. Gereja menegaskan bahwa otonomi manusia itu berarti suatu tanggung jawab. Dan kesadaran akan tanggung jawab itu disebut kesadaran moral.272 Dalam arti ini kesadaran moral sama sekali tidak dipahami sebagai bekal yang jelas akan aturan-aturan tugas dan kewajiban manusia. Melainkan, kesadaran moral merupakan kesadaran manusia akan dirinya sendiri sebagai subyek yang harus mengambil keputusan dan bertindak.273 Namun gereja juga menyadari bahwa manusia sering menyimpang dari arah tugas dan kewajibannya. Maka dalam hal ini gereja menekankan peran dan fungsi suara hati. Suara hati berperan bukan hanya sebagai kontrol akan apa yang harus dilakukan oleh manusia; atau hanya sebagai yang menilai sarana dan tujuan usaha manusia. Melainkan juga sebagai pedoman dan daya penggerak tindakan mmanusia.274 5.3.2. Makna Kebebasan Di Tengah Situasi Yang Tidak Membebaskan Dewasa ini sering pula terjadi keragu-raguan akan kebebasan. Hal itu muncul terutama dari kondisi-kondisi yang sungguh-sungguh menekan kebebasan manusia. Manusia mengharapkan kebahagiaan dan ketentraman dalam hidupnya. Namun yang terjadi adalah peperangan, kemiskinan, pelanggaran hak-hak asasi manusia, ketidakadilan hukum, penindasan, pemerkosaan, dan sebagainya. Tidak jarang kondisi Vertikal?, dalam 2.2.3 272 Bdk. Konferensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik: Buku Informasi Dan Referensi, Kanisius (Yogyakarta) dan Obor (Jakarta), 1996, hal:13 273 Bdk. Konferensi Waligereja Indonesia, Op.Cit., hal:14 274 Bdk. Konferensi Waligereja Indonesia, Op.Cit., hal:14 semacam itu akhirnya membuahkan pemikiran yang secara terus-terang meragukan makna kebebasan. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana kebebasan harus dimengerti dalam situasi semacam itu? Apa makna kebebasan dalam situasi semacam itu? Di mana peran Tuhan yang diyakini sebagai Yang-Mahakuasa? Dalam hal ini Louis Leahy memberikan pemikiran bahwa kebebasan manusia merupakan sesuatu yang terbatas dan tidak sempurna. Kebebasan manusia adalah kebebasan yang ber-situasi. Oleh karena itu adalah tugas semua orang untuk senantiasa memperjuangkan kebebasan dalam hidupnya. Gereja juga mengajarkan bahwa Tuhan menciptakan dunia dan segala isinya karena kebaikan-Nya dan untuk membagikan kebahagiaan-Nya sendiri.275 Konsep ajaran semacam ini bagi banyak orang memang sulit sekali didamaikan dan dipahami terutama dalam kaitannya dengan penderitaan yang ada di dunia ini. Di sini manusia individual ditantang dalam iman. Bagaimana manusia dalam situasi yang menderita tetap dapat mengakui kebaikan Tuhan dengan sikap bebasnya. Iman Kristen yang hendak mengikuti jejak Kristus mengajak setiap manusia untuk terus berusaha menerima hidup sebagai anugerah dari Tuhan. Penderitaan tidak perlu diterangkan, namun harus dihadapi. Salib Kristus berarti bahwa Tuhan sendiri ikut menghadapi kemalangan dunia dan kejahatan manusia. Iman mencari dasar kekuatannya dalam solidaritas Allah dengan manusia. Sebab kemalangan dan penderitaan adalah beban yang tidak dapat dimengerti, namun harus dihadapi. Dengan siapa? Yaitu bersama dengan Kristus. Memanggul salib bersama dengan Kristus merupakan sikap dan tindakan beriman.276 275 Bdk. Konferensi Waligereja Indonesia, Op.Cit., hal:156 276 Bdk. John Powell, SJ, Visi Kristiani: Kebenaran Yang Memerdekakan Kita, Kanisius, Yogyakarta, 1997, hal:176 DAFTAR PUSTAKA I. Buku-Buku Dan Artikel-Artikel Utama * Buku-Buku Utama Leahy, Louis, Manusia Sebuah Misteri: Sintesa Filosofis Tentang Makhluk Paradoksal, Gramedia, Jakarta, 1984 --------, Aliran-Aliran Besar Ateisme: Tinjauan Kritis, Yayasan Kanisius (Yogyakarta) dan BPK Gunung Mulia (Jakarta), 1992 --------, Esai Filsafat Untuk Masa Kini: Telaah Masalah Roh-Materi Berdasarkan Data Empiris Baru, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1991 --------, Filsafat Ketuhanan Kontemporer, Kanisius (Yogyakarta) dan BPK Gunung Mulia (Jakarta), 1993 --------, Manusia Di Hadapan Allah 1: Masalah Ketuhanan Dewasa Ini, Yayasan Kanisius (Yogyakarta) dan BPK Gunung Mulia (Jakarta), 1984 --------, Manusia Di Hadapan Allah 3: Kosmos Manusia Dan Allah, Yayasan Kanisius (Yogyakarta) dan BPK Gunung Mulia (Jakarta), 1986 --------, Sains Dan Agama Dalam Konteks Zaman Ini, Kanisius, Yogyakarta, 1997 *Artikel-Artikel Utama --------, Perihal Makna Hidup, dalam: Banawiratna, J.B., SJ., dkk., Zaman teknologi Menantang Pewartaan Iman, (Orientasi No.3), Kanisius, Yogyakarta, 1989 --------, Manusi Dan Usahanya Mencari Makna, dalam ?Basis?, Nopember, Tahun XXXVI, No.11, 1987 --------, Iman Kristiani Dan Paham Freud, dalam ?Basis?, Oktober, Tahun XXXVIII, No.10, 1989 II. Buku-Buku Dan Artikel-Artikel Pendukung *Buku-Buku Pendukung Abdullah, Taufik dan A.C. Van Der Leeden, Durkheim Dan Pengantar Sosiologi Moralitas, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1965 Adisusilo, Sutarjo, Problematika Perkembangan Ilmu Pengetahuan, Yayasan Kanisius, Yogyakarta, 1983 Asy?arie, Musa, Drs., (ed), Islam, Kebebasan Dan Perubahan Sosial: Sebuah Bungan Rampai Filsafat, Sinar Harapan, Jakarta, 1986 Baal, J. Van, Sejarah Dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya (Hingga Dekade 1970), jilid 2, PT. Gramedia, Jakarta, 1988 Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996 Bakker, J.W.M., SJ, Filsafat Kebudayaan: Sebuah Pengantar, Yayasan Kanisius (Yogyakarta) dan Gunung Mulia (Jakarta), 1984 Banawiratna, J.B., SJ., dkk., Zaman Teknologi Menantang Pewartaan Iman, (Orientasi No.3), Kanisius, Yogyakarta, 1989 Berofsky, Bernard, Freedom From Necessity: The Methaphysical Basis Of Responsibility, Routledge and Kegan Paul, New York, 1987 Bertens, K., Filsafat Abad XX, Gramedia, Jakarta, 1985 --------, Panorama Filsafat Modern, Gramedia, Jakarta, 1985 --------, Ringkasan Sejarah Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1995 --------, Sejarah Filsafat Yunani, Kanisius, Yogyakarta, 1997 --------, SigmundFreud: Memperkenalkan Psikoanalisa, Gramedia, Jakarta, 1984 Bourke, Vernon J., History Of Ethics: Grace-Roman To Early Modern Ethics, Vol.1, A Division of Doubleday and Company, Inc., Garden City, New York, 1968 Cassirer, Ernst, Manusia Dan Kebudayaan: Sebuah Esei Tentang Manusia, Gramedia, Jakarta, 1987 Craib, Ian, Teori-Teori Sosial Modern: Dari Parsons Sampai Habermas, CV. Rajawali, Jakarta, 1986 Dahler, Franz, Asal Dan Tudjuan Manusia (Teori Evolusi), Kanisius, Yogyakarta, 1971 Darmanto, JT dan Sudharto PH, (penyunting), Mencari Konsep Manusia Indonesia: Sebuah Bungan Rampai, Erlangga, Jakarta, 1986 Davis, Kingsley, Human Society, The Macmillan Company, New York, 1969 Devos, H., DR., Pengantar Etika, PT. Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1987 Dister, Nico Syukur, DR, OFM, Filsafat Agama Kristen: Mempertanggungjawabkan Iman Akan Wahyu Allah Dalam Yesus Kristus, Yayasan Kanisius (Yogyakarta) dan Gunung Mulia (Jakarta), 1985 --------, Filsafat Kebebasan, Kanisius, Yogyakarta, 1993 Dirdjosisworo, Soedjono, DR., S.H., Asas-Asas Sosiologi, Armico, Bandung, 1985 Drijarkara, N., Prof. DR., SJ., Filsafat Manusia, Yayasan Kanisius, Yogyakarta, 1969 --------, Driyarkara Tentang Kebudayaan, Yayasan Kanisius, Yogyakarta, 1988 Edward, Paul (ed), The Encyclopedia Of Philosophy, Vol.3, Macmillan Pub. Co. Inc and The Free Press, 1967 Encyclopedia Americana, Vol.12, Americana Corporation, New York, 1975 Encyclopedia International, Vol.5, Grolier Incorporated, New York, Montreal, 1963 Ensiklopedi Nasional Indonesia, Vol.3, PT. Cipta Adi Pustaka, Jakarta, 1989 Ensiklopedi Nasional Indonesia, Vol.4, PT. Cipta Adi Pustaka, Jakarta, 1989 Frankena, William F., Ethics, second edition, Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey, 1973 Gerungan, W.A., DR., Dipl.Psych., Psikologi Sosial, PT. Eresco, Bandung, 1991 Greertz, Clifford, Tafsir Kebudayaan, Kanisius, Yogyakarta, 1992 Grisez, German, dan Russell Shaw, Beyond The New Morality:The Responsibility Of Freedom, University Of Notre Dame Press, London, 1974 Grolier Universal Encyclopedia, Vol.3, Grolier Incorporated, New York, Montreal, 1965 Hadi, P. Hardono, DR., Jati Diri Manusia: Berdasarkan Filsafat Organisme Whitehead, Kanisius, Yogyakarta, 1996 Hadiwijono, Harun, Dr., Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Kanisius, Yogyakarta, 1980 Hall, Calvin S., dan Gardner Lindzey, Theories Of Personality, third editions, John Wiley & Sons, Inc., Canada, 1978 Halverson, William H., A Concise Introduction To Philosophy (third edition), New York, 1976 Hamersma, Harry, Filsafat Eksistensi: Karl Jaspers, Gramedia, Jakarta, 1985 --------, Pintu Masuk Ke Dunia Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1981 Harriman, Philip L., Modern Psychology, Litlefield, Adam and Co, Iowa, 1958 Harris, Thomas A., MD., Saya Oke-Kamu Oke, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1987 Harrisin-Barbet, Antony, Mastering Philosophy, The Macmillan Press Ltd., London, 1990 Hasker, William, Metaphysics: Constructing A World View, Downers Grove, Illionis: Intervarsity Press, 1983 Hinde, R.A., Biological Bases Of Human Social Behaviour, McGraw-Hill Book Company, New York, 1974 Hospers, John, An Introduction To Philosophical Analysis, second edition, Prentice- Hall, Inc., Englewood Cliffs, 1967 Huby, P., Greek Ethics, St. Martin?s Press, Inc., New York, 1967 Huchison, John A., Living Options In World Philosophy, The University Press Of Hawaii And The Risearch Corporation Of The University Of Hawaii, Honolulu, 1977 Huijbers, Theo, DR., Mencari Allah: Pengantar Ke Dalam Filsafat Ketuhanan, Kanisius, Yogyakarta, 1992 --------, Manusia Merenungkan Dunianya, Kanisius, Yogyakarta, 1986 Hutchins, Robert Maynard, (ed) Charles Darwin: The Origin Of Species, Encyclopaedia Britanica, Inc., Chicago, 1990 --------, The Major Works Of Sigmund Freud: Great Book Of The Western World, Ensyclopaedia Britannica, Inc., Chicago, 1990 Johnson, Doyle Paul, Teori Sosiologi: Klasik dan Modern, Jilid 1, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994 Kattsoff, Louis O., Pengantar Filsafat, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1992 Koentjaraningkrat, Sejarah Teori Antropologi, Jilid 1, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 1982 --------, Pengantar Antropologi, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 1974 Konferensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik: Buku Informasi Dan Referensi, Kanisius (Yogyakarta) dan Obor (Jakarta), 1996 Kopp, Joseph v., Teilhard de Chardin: Sintese Baru Tentang Evolusi, Yayasan Kanisius, Yogyakarta, 1971 Langeveld, M.J., Dr., Menuju Kepemikiran Filsafat, P.T. Pembangunan, Jakarta, Tanpa tahun penerbitan Leenhouwers, P., Manusia Dalam Lingkungannya: Refleksi Filsafat Tentang Manusia, Gramedia, Jakarta, 1988 Levin, Michael E., Metaphysics And The Mindbody Problem, Qlorendom Press, Oxford, 1979 Lonergan, Bernard J.F., Insight, Darton Longman and Todd, London, 1958 Lopes, Antonio Maher, Konsep Manusia Menurut Jean Paul Sartre, STFT Widya Sasana, Malang, 1991 Mackie, J.L., Ethics: Inventing Rights And Wrong, Pinguin Group, London, 1990 Mannheim, Karl, Sosiologi Sistematis: Suatu Pengantar Studi Tentang Masyarakat, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1987 Magill, Frank N., Suvey Of Social Science: Psychology, Vol.3, Salem Press, Inc, United States Of America, 1993 Magnis-Suseno, Franz, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Kanisius, Yogyakarta, 1993 --------, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999 --------, Etika Sosial: Buku Panduan Mahasiswa, Gramedia, Jakarta, 1989 --------, Etika Umum: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Kanisius, Yogyakarta, 1985 --------, 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19, Kanisius, Yogyakarta, 1992 Mangunhardjana, A., Isme-Isme dari A Sampai Z, Kanisius, Yogyakarta, 1997 Mayer, Frederick, A History Of Modern Philosophy, American Book Company, United States Of America, 1951 Messner, Johaness, Social Ethics: The Natural Law In The Western World, B. Herder Book, Inc., St. Louis and London, 1965 Metz, Rudolf, DR., A Hundred Years Of British Philosophy, The Macmillan Company, New York, 1950 Miller Ed. L., Questions That Matter: An Invitation To Philosophy, second edition, McGraw-Hill, Inc., United States Of America, 1987 Mohan, Robert Paul, Philosophy Of History: An Introduction, The Bruce Publishing Company, United States Of America, 1970 More, Joseph M. de, Christian Philosophy, Vera-Reyes, Inc., Philippines, 1980 Morris, Leon, Teologi Perjanjian Baru, Gandum Mas, Malang, 1996 Muhni, Djuretna A. Imam, Moral Dan Religi: Menurut Emile Durkheim Dan Henri Bergson, Kanisius, Yogyakarta, 1994 Mustopo, M. Habib, Ilmu Budaya Dasar: Kumpulan Essay-Manusia Dan Budaya, Usaha nasional, Surabaya, 1989 Nasution, Harun, Dr., Filsafat Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1979 Peursen, C.A. van, Orientasi Di Alam Filsafat, PT. Gramedia, Jakarta, 1980 --------, Tubuh Jiwa Roh: Sebuah Pengantar Dalam Filsafat Manusia, BPK Gunung Mulia, Jakarta Pusat, 1983 Pinanggiyo, St., Tanggung Jawab Dan Kebebasan Manusia Dalam Perspektif Islam-Kristen, Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana, Malang, 1994 Poedjawiyatna, Prof. Ir., Etika: Filsafat Tingkah Laku, Rineka Cipta, Jakarta, 1996 --------, Manusia Dengan Alamnya: Filsafat Manusia, Bina Aksara, Jakarta, 1981 Poespowardojo, Soerjanto, dan K. Bertens, Sekitar Manusia: Bunga Rampai Tentang Filsafat Manusia, Gramedia, Jakarta, 1978 Ponticelli, Silvano, CM, Sejarah Filsafat Renaisan, Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana, Malang, 1996 Powell, John SJ, Visi Kristiani: Kebenaran Yang Memerdekakan Kita, Kanisius, Yogyakarta, 1997 Putra, Nusa, Pemikiran Soedjatmoko Tentang Kebebasan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994 Rasjidi, H.M., Prof. DR., Filsafat Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1978 Ronie, Manusia Dan Tujuan Hidup: Menurut Teologi Pembebasan, Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana, Malang, 1993 Runes, Dagobert D., and 72 Authoroties, Dictionary Of Philosophy: Ancient- Medieval-Modern, Litlefield, Adams and Co., United States Of America, 1959 Runtu, Julius, Rasa Berontak Terhadap Kejahatan Sebagai Titik Tolak Suatu Jalan Menuju Pengakuan Eksistensi Allah: Solusi Leahy Atas Masalah Kejahatan, STFT Widya Sasana, Malang, 1993 Sanadji, Kasmiran Wuryo, Prof. Dr, MA, Filsafat Manusia, Erlangga, Jakarta, 1985 Soekanto, Soerjono, Prof. DR., S.H., M.A., dan Ratih Lestarini, S.H., Fungsionalisme Dan Teori Konflik Dalam Perkembangan Sosiologi, Sinar Grafika, Jakarta, 1988 Sokolowski, Robert, Moral Action: A Phenomenological Study, Indiana University Press, Blommington, 1985 Solomon, Robert C. dan Drs. R. Andre Karo-Karo, Etika: Suatu pengantar, Erlangga, Jakarta, 1987 Sudarminta, J., DR., Filsafat Proses: Sebuah Pengantar Sistematik Filsafat Alfred North Whitehead, Kanisius, Yogyakarta, 1991 Supratiknya, A., Dr., Teori-Teori Sifat Dan Behavioristik, Kanisius, Yogyakarta, 1993 Suryabrata, Sumadi, Psikologi Kepribadian, Rajawali Pers, Jakarta, 1990 Susanto, Laurentius Heru, Filsafat Kebebasan Albert Camus, STFT Widya Sasana, Malang, 1991 Sutrisno, F.X. Mudji, dan F. Budi Hardiman (ed), Para Filsuf Penentu Gerak Jaman, Kanisius, Yogyakarta, 1992 Taylor, Richard, Metaphysics, (third edition), Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, United States of America, 1983 The Catholic Encyclopedia For School and Home, Vol.3, St. Joseph?s Seminary and College, Philiphines, 1965 Titus, Harold H., Living Issues In Philosophy: An Introductory Texbook, third edition, American Book Company, New York, 1959 Weij, P.A. van der, DR., Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia, Gramedia, Jakarta, 1988 Widjaja, A.W., Drs., Manusia Indonesia: Individu keluarga Dan Masyarakat, Akademika Pressindo, Jakarta, 1986 Worsley, Peter, dkk, Intoducing Sociology, Penguin Book Ltd., England, 1970 Veeger, K.J., Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan Individu- Masyarakat Dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993 Verhaar, John W. M., SJ, Identitas Manusia: Menurut Psikologi Dan Psikiatri Abad Ke-20, Kanisius (Yogyakarta) dan Gunung Mulia (Jakarta), 1989 Zeller, Eduard, Outlines Of The History Of Greek Philosophy, thirteenth edition, Meridian Book, New York, 1957 Zubair, Achmad Charris, Drs., Kuliah Etika, Rajawali Pers, Jakarta, 1990 * Artikel-Artikel Pendukung Bertens, K., M.S.C., Perhatian Filsafati Atas Psikoanalisa, dalam ?Orientasi: Pustaka Filsafat Dan Teologi?, Th.2, No.1, 1970 Daeng, Hans J., Adaptasi Dan Integrasi Nilai Budaya Tradisional-Modern, dalam ?Basis?, Maret, Tahun XLII, No.3, 1993 Gilbert, Christopher, Freedom And Enslavement: Descartes On Passion And The Will, dalam ?History Of Philosophy Quarterly?, Vol.15, No.2, April, 1998 Glannon, Walter, Responsibility And The principle Of Posible Action, dalam ?The Journal Of Philosophy?, Vol.XCII, No.5, Mei, 1995 Iswarahadi, Y.I., Kebebasan Sebagai Segi Filosofis Dalam Pendidikan, dalam ? Basis?, Juni, Tahun XXXVII, No.6, 1988 King, Peter, Towards A Theory Of The General Will, dalam ?Hostory Of Philosophy Quarterly?, Vol.4, No.1, Januari, 1987 Maarif, Ahmad Syafi, Kebebasan Dan Keniscayaan, dalam ?Basis?, Oktober, Tahun XXXVII, No.10, 1988 Piedade, Joao Inocencio, Problematika Manusia Dalam Antrolopogi Filsafat, dalam ?Basis?, Nopember, Tahun XXXV, No.11, 1986 Ripstein, Arthur, The General Will, dalam ?History Of Philosophy Quarterly?, Vol.9, No.1, Januari, 1992 Sutrisno, Mudji, F.X., Nilai Manusia, dalam ?Basis? No.7, Tahun XXXVII, 1998 Slote, Michael, Selective Necessity And The Fee-Will Problem, dalam ?The Journal Of Philosophy?, Vol.LXXIX, No.1, January, 1982 mjbookmaker by: http://jowo.jw.lt